My Profile

Foto saya
Lamongan jawa timur, Indonesia
Jangan lihat aku dari luar..............!!!!!

Jumat, 12 Agustus 2011

Ulumul Qur"an


                        AL-QURAN, TAFSIR DAN TA’WIL
DALAM OPTIK SAYYID ABU AL-A’LA AL-MAUDUDI
Oleh; Luqman Abdul Jabbar[1]


A.    PENDAHULUAN
I
lmu Al-Quran adalah ilmu yang belum matang, atau bahkan mungkin tidak dapat pernah untuk dimatangkan. Entah karena ide yang terkandung di dalamnya memang bersifat universal dan global atau mungkin ia senantiasa dapat terkait dengan isu-isu kontemporer dari fenomena yang muncul. Karena itulah barangkali salah satu faktor yang  menyebabkan ia senantiasa menarik untuk dibicarakan, tidak hanya oleh kalangan internal muslim namun juga  non-muslim, tidak hanya oksidentalis namun juga orientalis.
Termasuk, persoalan al-Quran itu sendiri dan konsep tafsir dan ta’wil yang senantiasa mengiringi dalam kajian-kajian pemahaman al-Quran. Hingga kini para ahli tafsir senantiasa berbeda pendapat dalam menyikapinya. Dan khusus dalam makalah ini penulis mencoba melakukan penelusuran konsep al-Quran, tafsir dan ta’wil dari berbagai karya al-Maududi yang terkait dengan kajian al-Quran. Dengan harapan akan diperoleh sebuah ide konseptual permikiran seorang ahli tentang al-Quran, tafsir dan ta’wil. Amin.

B.    LAMHAH SARI’AH BIOGRAFI AL-MAUDUDI
Abu al-A’la[2] al-Maududi merupakan keturunan Maududseorang perawi Hadits Rasulullah S.A.Wdari sinilah gelar al-Maududi mengiringi namanya. Abu al-A’la al-Maududi, yang lebih dikenal dengan sebutan al-Maududi, adalah seorang tokoh pembaharuan pemikiran Islam modern kelahiran Aurangabad pada tanggal 25 September 1908 M/03 Rajab 1321 H, kota Kesultanan Hyderabad (Deccan), yang sekarang dikenal dengan nama Andhra Prades di India. Ayahnya bernama Hasan al-Maududi (L. 1855 M) dan Ibunya bernama Ruqayyah.
Dalam perjalanan studinya, sejak awal al-Maududi telah mengenyam lewat pendidikan non-formal orang tuanya. Dan dari pendidikan klasik ini menjadikannya tidak mengenal bahasa Inggris, namun ia menguasai bahasa Arab, Persia dan Urdu. Baru di usia 11 tahun, ia duduk di bangku pendidikan formal, belajar di Sekolah Modern, Madrasah Fauqaniyah di Aurangabad, yang memadukan sistem pendidikan modern Barat dan Islam. Tamat dari pendidikan Madrasah tersebut, ia melanjutkan pendidikan ke Pergururan Tinggi Dar al-‘Ulum Deoband di Hyderabad, sebuah lembaga pendidikan yang paling berpengaruh dan terkenal di India saat itu[3].
Sulit, mungkin inilah kata yang cocok jika kita hendak mengklasifikasikan bidang yang menjadi konsentrasi al-Maududi. Ia bukanlah seorang spesialis, yang mengkonsentarasikan diri pada satu bidang kajian keilmua saja, akan tetapi ia adalah seorang generalis yang mempunyai kekuatan-kekuatan ilmu utama. Kekuatan al-Maududi adalah pada bidang tafsir al-Quran, berbagai cabang etika dan studi-studi sosial.
Di usianya yang ke 26 tahun, ia telah menerbitkan sebuah karya ilmiah yang besar, yang tidak ada taranya, dengan judul “al-Jihad fi al-Islam”. Dan Tafhim al-Quran, karya monumentalnya dalam bidang tafsir al-Quran, selain masih banyak lagi tafsir-tafsir tematik lainnya[4].

C.    PENELUSURAN KONSEP AL-QURAN DAN YANG TERKAIT  DALAM PERSPEKTIF AL-MAUDUDI
Al-Maududi, dalam karir kerjanya adalah sebagai seorang jurnalis yang banyak bergelut di dunia jurnalistik. Namun sebenarnya melalui media massa ini pula ia juga banyak memunculkan ide-ide pembaharuan pemikiran Islam modern, seperti melalui majalah bulanan Tarjuman al-Quran di India. Ia banyak memberikan sumbangannya pada perkembangan pemikiran Islam modern bagi dunia Islam dan India-Pakistan khususnya.
Khusus dalam  bidang tafsir al-Quran, al-Maududi lebih banyak melahirkan tafsir dengan pendekatan metode tematik (maudhu’i)[5], antara lain seperti al-Khilafah wa al-Mulk dan al-Riba fi al-Quran[6]. Sementara kitab yang secara  spesifik sebagai upaya al-Maududi untuk menafsirkan al-Quran dari awal hingga akhir surat dalam al-Quran adalah kitab “Tafhim al-Quran[7]sayang penulis tidak dapat menemukan manuskrip tersebut secara utuh, kecuali buku terjemahan yang hanya merupakan muqaddimah-nya, dengan judul “Pedoman Dasar Untuk Memahami al-Quran”dan buku “The Meaning of The Quran”, yang juga merupakan bagian dari “Tafhim al-Quran”.
Seiring dengan perkembangan dunia interpretasi al-Quran, tafsir tematik—sebagaimana diungkap Quraisy Shihab—adalah salah satu metode baru, hasil inspirasi ulama tafsir dengan cara menetapkan satu topik tertentu, kemudian menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dari beberapa surat yang berbicara tentang topik tersebut. Untuk kemudian dikaitkan satu dengan lainnya, sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pandangan al-Quran. Metode ini di Mesir pertama kali dicetuskan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid al-Kumiy, Ketua Jurusan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar sampai tahun 1981.
Adapun beberapa dosen Tafsir di Universitas tersebut telah berhasil menyusun banyak karya ilmiah dengan menggunakan metode tematik ini antara lain adalah al-Husaini Abu Farhah menulis al-Futuhat al-Rabbaniyyah fi al-Tafsir al-Mawdhu'i li al-Ayat al-Qur'aniyyah dalam dua jilid, dengan memilih banyak topik yang dibicarakan al-Quran.
Dalam menghimpun ayat-ayat yang ditafsirkannya secara tematik tersebut, al-Husaini tidak mencantumkan seluruh ayat dari seluruh surat, walaupun seringkali menyebutkan jumlah ayat-ayatnya dengan memberikan beberapa contoh, sebagaimana tidak juga dikemukakannya perincian ayat-ayat yang turun pada periode Makkah sambil membedakannya dengan periode Madinah, sehingga terasa bahwa apa yang ditempuhnya itu masih mengandung beberapa kelemahan[8].
Terlepas dari itu semua, namun, meskipun al-Maududi tidak pernah menulis konsep-konsep yang secara spesifik terkait dengan Ulum al-Quran, dari tafsir-tafsir tematik dan potongan kitab tafsir al-Maududi penulis mencoba untuk tetap menelusuri perspektif al-Maududi tentang al-Quran, Tafsir dan Ta’wil.
1.     Al-Quran
Ada beberapa pemetaan pandangan al-Maududi tentang al-Quran yang  coba penulis simpulkan berdasarkan dari hasil penulusuran yang telah dilakukan;
a.  Kedudukan dan Fungsi al-Quran
1)  Al-Quran Memiliki Kekhasan Bahasa
Menurut al-Maududi, al-Quran bukanlah buku yang memuat perincian-perincian, tetapi al-Quran adalah sebuah buku yang mengemukakan dasar-dasar persoalan secara umum dan global[9], karena itu menghadapi al-Quran tidaklah dapat disamapersiskan dengan di saat menghadapi buku-buku teks lainnya, meskipun notabene ia juga merupakan teks tertulis.
Al-Maududi mengakui, bahwa al-Quran memang ditulis dengan bahasa manusia, bahasa Arab, namun secara esensial ia merupakan wahyu Tuhan, firman Tuhan dan bahkan sistematika penulisan ayat-perayatsebagaimana yang diakui oleh mayoritas keimanan umat Islamditulis berdasarkan wahyu dari Tuhan. Al-Quran, tambahnya, tidak ditulis bab-perbab sebagaimana buku-buku yang umum kita temui, tetapi ia adalah kitab yang sangat berbeda. Al-Quran memiliki gaya bahasa tersendiri dan mengandung masalah-masalah aqidah, akhlaq, hukum, seruan, nasehat, teladan, kritik, larangan, ancaman, anjuran, sejarah, dan petunjuk-petunjuk atas kekuasaan Allah swt[10].
Karena itu pulalah untuk memperoleh pemahaman yang baik tentang pesan-pesan yang termuat dalam al-Quran, seorang interpreter (mufassir) tambah al-Maududi, tidak dapat mengeneralisasikannya sebagaimana di saat ia akan memahami teks-teks biasa. Ini bukanlah justru menjadikan al-Quran sebagai benda alien yang jarang ditemui dan bahkan jauh dari atmosfir kehidupan manusia. Namun dengan keunikan dan kekhasan bahasa dan sistematikanya, menjadikannya sebagai buku teks yang penuh dengan pesan-pesan rahasia yang justru malah menjadi pemicu rasa keingintahuan kita untuk mengkajinya. Tentu, perlu ditegaskan kembali, dalam mengkajinya pun tidak dapat disamakan dengan buku teks biasasebab ia memang bukan buku biasa,karena itu menurut al-Maududi, orang yang terbiasa bergelut memahami buku-buku biasa kemudian cara itu diterapkan pada al-Quran, pastilah ia akan mengalami kesulitan untuk mengenali topik, tujuan dan atau pembahasan utamanya. Bahkan ia juga akan merasa asing dengan ketidaktahuannya tentang relatifitas-relatifitas kalimat-kalimat al-Quran[11].
2)  Al-Quran Sebagai Buku Pedoman dan Metode Dakwah
Al-Quran dalam perjalanan sejarah keberadaannya senantiasa beriringan dan sesuai dengan perkembangan dakwah.  Ada 3 (tiga) tahap kronologis penurunan al-Quran yang coba dipilah al-Maududi, seiring dengan fungsinya sebagai penjawab fenomena yang terjadi, pedoman dan metode dakwah:
Tahap Pertama; al-Quran turun sebagai pijakan awal bagi Rasul, Muhammad saw., dalam menyampaikan dakwah beliau, yang berwal dengan pengayaan ilmu pengetahuan dan kemudian disusul ajakan berdakwah dengan startingpoint-nya adalah keluarga dekat beliau sendiri (Quraisy).
Tahap  Kedua; setelah Rasulullah mengalami sedikit kemajuan dakwah beliau, yang sementara di lain pihak, ancaman, cacian dan penyiksaan mengiringi kesuksesan awal ini, wahyu turun dengan memberikan semangat dan siraman-siraman ketenangan batin bagi perjuangan dakwah beliau dan sahabat.
Tahap Ketiga; setelah perpindahan Rasul dari Mekkah ke Madinah (hijrah), dengan semakin bertambahnya pengikut beliau dan semakin kuatnya keimanan para pengikut, dengan al-Quran Islam lalu menyerukan kepada seluruh umatnya untuk membentuk sistem kemasyarakatan yang berdiri sendiri dan berpusat pada satu pemerintahan dengan kota Madinah yang dipili sebagai Ibu Kota pemerintahan.
Karena itulah dengan cara turunnya yang gradual, berangsur-angsur dengan topik yang berbeda-beda sebagai respon atas fenomena sosial saat itu, menjadikannya berpotensi untuk dipahami sebagai penjawab berbagai fenomena saat itu, sekarang  maupun kemudian.
3)  Al-Quran Terlepas dari Ruang dan Waktu
Al-Maududi mengakui, secara sederhana dan sekilas, al-Quran memang memberikan kesan bahwa ia adalah kitab yang diperuntukkan bagi orang-orang Arab. Ini tampak sekali dari cover yang menyelubunginya dengan bahasa, berita, cerita  maupun kejadian-kejadian yang mengiringinya senantiasa berbau Arab.
Ini, tambah al-Maududi, tidak dapat dibenarkan. Sebab itu semua adalah memang bersifat lokalitas dan temporal. Namun secara fenomenologis sebenarnya yang ingin disampaikan oleh al-Quran adalah menjawab fenomena-fenomena tersebut. Hingga dengan fenomena serupa atau yang mendekatinya akan terjawabkan oleh al-Quran. Sebagai contoh, larangan musyrik yang tidak hanya berlaku bagi orang Arab dan di tanah Arab, namum berlaku untuk seluruh manusia dan bahkan kapan pun.
Sebauh sistem  yang bersifat nasional/lokal, akan senantiasa mengedepankan dan mengutamakan kepentingan bangsa itu sendiri dan menuntut kewajiban khusus yang tidak dapat diaplikasikan kepada bangsa lain. Sementara yang bersifat internasional/global, akan senantiasa terbentuk dalam sebuah sistem yang menganut kebersamaan bagi seluruh umat manusia dengan kewajiban-kewajiban yang sama pula tentunya[12].
2.     Metodologi Kajian al-Quran
Al-Maududi secara khusus tidak berbicara tentang ulum al-Quranapalagi terjebak mempersoalkan secara spesifik definisi tafsir dan ta’wilkarena itu setelah berbicara tentang kedudukan dan fungsi al-Quran dalam optik al-Maududi perlu pula dibicarakan tentang metodologi kajian al-Quran dalam optiknya hingga dari kedua bahasan tersebut dapat diperoleh kesimpulan rumusan al-Maududi tentang tafsir dan ta’wil dalam al-Quran.
Menurut al-Maududi, dalam memahami al-Quran seorang interpreter harus seorang yang benar-benar berkompeten dalam tema kajiannya. Sebab al-Quran bukanlah buku biasa yang dengan serta merta dan mudah untuk ditangkap maknanya, bahkan buku biasa saja antara penulis dan pembaca bisa terdapat kontroversi pemahaman. Mungkin karena itu pula, barangkali, al-Maududi yang seorang jurnalis serta mantan politikus, lebih banyak menghasilkan karya-karya tafsir yang secara tematik berbicara tentang politik[13].
Dan dari dasar itu pula, al-Maududi, sebagaimana ahli tafsir al-Quran modern lainnya lebih cendrung menggunakan metode  tematik (maudu’i) dalam karya-karya tafsirnya. Sebagai contoh tafsiran al-Maududi tentang konsep alam semesta yang dilihatnya dari sudut pandang politik, menurutnya ada empat[14];
a.      Bahwa Allah adalah Pencipta dari seluruh alam semesta ini, termasuk manusia dan segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk keperluannya. Ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah: 4, Q.S. al-Nisa: 1, Q.S. al-An’am: 73, Q.S. al-Ra’d: 16, Q.S. Fathir: 3 dan Q.S. al-Waqi’ah: 58-72.
b.      Bahwa Allah adalah Penguasa Tunggal, Pemerintah, Pemimpin dan Pengurus semua ciptaan-Nya. Ini sesuai dengan firman Allah yang terdapat dalam Q.S. al-A’raf: 54, Q.S. Thaha: 8, Q.S. al-Rum: 26 dan Q.S. al-Sajadah: 5.
c.       Bahwa pada hakekatnya kedaulatan di atas dunia ini tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali Allah. Ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah: 107, Q.S. Ali ‘Imran: 154, Q.S. al-An’am: 57, Q.S. al-Hijr: 16, Q.S. al-nahl: 17, Q.S. al-Kahfi: 26, Q.S. al-Furqan: 2, Q.S. al-Qashash: 70, Q.S. al-Rum: 4, Q.S. Fathir: 40-41 dan Q.S. al-Hadid: 5.
d.      Bahwa semua sifat dan kekuasaan kedaulatan adalah semata-mata hal istimewa Allah swt.
Dari itu semua, menurut al-Maududi, berdasarkan konsep alam semesta di atas al-Quran ingin menegaskan bahwa penguasa sejati manusia sama dengan penguasa seluruh alam semesta. Kepunyaan Allah-lah hak untuk berkuasa atas semua urusan manusia sebagaimana juga atas urusan penciptaan. Oleh karena itu, ketaatan dan kepatuhan atas segala aturan dan hukum yang telah ditetapkan Allah adalah suatu kemutlakan. Patuh kepada hukum-hukum lain atau mengikuti kehendak sendiri yang bertentangan dengan ketetapan yang telah Allah buat adalah perbuatan sesat, sebagaiman firman Allah dalam Q.S. al-A’raf: 3, Q.S. al-Ra’d: 37, Q.S. al-Nahl: 36, Q.S. al-Zumar: 2, 11-12 dan Q.S. al-Mu’min: 18 dan 98.
Demikianlah metode beserta contohnya yang dipergunakan oleh al-Maududi dalam kajian-kajian tafsir al-Qurannya. Dan dari kedua sub-bahasan di ataskedudukan dan fungsi al-Quran dan metodologi kajian al-Quran termasuk juga hal-hal lain yang terdapat dalam bahasan berikut, secara eksplisit tentu dapat ditarik sebuah pemahaman tentang konsepsi tafsir dan ta’wil menurut al-Maududi.
3.     Tafsir dan Ta’wil
Al-Maududi, sebagaimana penafsir-penafsir al-Quran lainnya, secara spesifik ia tidak memilah isu kontroversial seputar perbedaan definitif antara tafsir dan ta’wil ini.  Namun dengan tidak menafikan berdasarkan referensi yang penulis gunakan, al-Maududi juga ada menyebut-nyebut istilah tafsir dan ta’wil, namun tidak dimaksudkan secara spesifik untuk membedakan tafsir dan ta’wil secara definitif. Sebagaimana ungkapannya, yang diterjemahkan oleh Ahmad Sythibi; “Terjadinya perbedaan paham dalam menafsiran dan mena’wilkan al-Quran bukan saja di masa-masa sekarang akan tetapi sejak masa tabi’in bahkan di masa sahabat sendiri[15].
Maka berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas dan perbandingan berbagai konsepsi para ahli yang memperdebatkan kedua term inijika dicoba untuk menarik kesimpulanberarti pada dasarnya al-Maududi tidak terlalu merisaukan perbedaan kadua terma tersebut, ini jelas dari istilah yang senantiasa dipergunakan olehnya dalam penyebutan upaya pemahaman al-Quran yang ia lakukan dengan menggunakan terma tafsir. Namun, meskipun demikian antara kedua istilah tersebut diakuinya berbeda secara subtansial, karena itu dalam pernyataannya di atassebagaimana ditulis oleh Ahmad Syathibi dalam terjemahannyaia membedakan dan memilahkanya. Karena itu secara konseptual ia mengikuti pembedaan umum yang berlaku di kalangan ulama tafsir dalam membedakan kedua terma tersebut.
Pergeseran antara redaksi teks kepada pemahaman yang lebih luas dan universal yang telah dilakukan oleh al-Maududi dalam menafsirkan al-Quran itulah yang disebut tafsir. Sementara ta’wil berarti upaya mengeksplorasi makna tersembunyi dari aat-ayat al-Quran untuk diperoleh pemahaman yang memadai. Hal tersebut dapat dilihat dari upaya al-Maududi dalam menafsirkan al-Quran yang senantiasa tidak hanya mengacu pada teks al-Quran semata. Namun ia senantiasa mengelaborasikannya dengan berbagai pendekatan pemahaman dan beberapa hasil kajian dan teori-teori modern yang terkait dengan bahasan yang ia angkat. Sebagai contoh di saat ia hendak mengkaji konsep khilafah dan kerajaan, selain mencoba mengkaji teks-teks al-Quran yang secara eksplisit dan implisit berbicara tentang kedua hal tersebut, ia juga melakukan komparasi historitas dari perjalanan kepemerintahan Islam masa lalu. Dari sini akhirnya melalui analisa tersebut dan didukung pendangan-pandangan pemikir pendahulunya, ia membuat sebuah kesimpulan bahwa sistem khilfah adalah sistem pemerintahan yang diakui dalam Islam[16].
Demikian pula dalam menyikapi masalah riba, lewat karyanya, al-Riba, dalam buku ini ia tidak secara serta merta berbicara tentang riba dengan melandaskan argumentasi pada al-Quran semata. Namun ia mencoba membangun pemahaman dengan mengakomodir beberapa pendapat dan teori-teori umum dari sistem perekonomian yang berlangsung saat ini kemudian menghubungkannya dengan fenomena sosial yang berlangsung di masa Rasul dari teori-teori sistem perekonomian yang dibangun dan dibenarkan Rasul. Barulah ia membuat sebuah kesimpulan mana yang pantas berlaku dan mana yang tidak[17].
Namun sebagai catatan, dari idealitas tafsir yang ia lakukan dan bahkan syarat-syarat yang dibuatnya[18], di lain sisi al-Maududi juga mengakui tidak dapat disangkal bahwa manusia, dengan kedalaman pengetahuannya tentang alam dan hakikat-hakikat ilmiah, menyebabkan bertambah dalam pula pemahamannya tentang makna-makna al-Quran. Tetapi, hal ini bukan berarti bahwa ia telah memahami al-Quran melebihi pemahaman Nabi dan murid-muridnya (sahabat) yang memperoleh pemahaman tersebut dari Nabi saw. Kita tidak menolak bahwa para sahabat adalah "murid-murid" Nabi, tetapi tidak semua pendapat mereka bersumber dari Nabi. Ini terbukti dengan adanya perbedaan pendapat di antara mereka, bahkan di antara mereka ada yang keliru memahami arti ayat-ayat al-Quran. 'Adi ibn Hatim, misalnya, memahami arti al-khaith al-abyadh min al-khaith al-aswad (Q.S. al-Baqarah:187), dengan arti hakiki (benang), padahal informasi yang ingin disampaikan oleh al-Quran adalah tentang tempo waktu berpuasa[19].
Kalau pendapat al-Maududi tidak sepenuhnya diterima, maka demikian pula pendapat aliran lain semacam pandangan Muhammad Asad. Menurut Asad, kunci utama memahami al-Quran adalah ayat ketujuh surah Ali 'Imran, Huwa alladzi anzala 'alaika al-kitab minhu ayat muhkamat hunna umm al-kitab wa ukharu mutasyabihat. Menurut Asad, ayat inilah yang menjadikan risalah al-Quran mudah dicerna bagi mereka yang menggunakan pikirannya, karena al-mutasyabih adalah ayat-ayat yang menggunakan redaksi-redaksi majazi (metaforis) dan mempunyai makna-makna simbolis. Al-Quran memnurutnya, memiliki banyak ayat mutasyabih, sehingga bila redaksinya tidak dipahami secara metaforis, maka akan terjadi kekeliruan dalam memahami jiwa ajaran al-Quran.

D.    PENUTUP
Sebagaimana, para ahli tafsir lainnya al-Maududi memandang bahwa al-Quran adalah kitab yang sangat istimewa yang tidak dapat disama persiskan dengan kitab atau buku lainnya dalam menginterpretasikan kandungan pesannya. Dan sebab kompleksitas yang berlaku pada al-Quran menjadikannya senantiasa mengalami varian interpretatif.
Maka sejalan dengan itu pula, tafsir dan ta’wil pun yang merupakan bagian tererat dalam proyek interpretasi al-Quran juga mengalami hal tersebut. Hanya saja bagi al-Maududi meskipun kedua terma itu tidak ia bedakan secara konseptual, namun dari penggunaan ungkapan yang dipergunakannya, ia membedakannya dan mengikuti pembedaam umum yang ada di kalangan ulama tafsir.
Demikianlah konsepsi al-Maududi tentang al-Quran, tafsir dan ta’wil. Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan sederhana ini dapat memberikan manfaat banyak bagi siapa saja yang berkompeten dalam kajian ini. Dan khusus kepada Dr. Muhammad Chirzin, MA, dan umumnya kepada teman-teman kelas yang telah memberikan kontribusi pemikiran untuk perbaikan makalah ini penulis ucapkan banyak terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Hamidi Kholil Ahmad. dalam pengantar Pedoman Dasar Untuk Memahami al-Quran, terj. Abu al-A’la al-Maududi. (Jakarta: Gunung Jati). 1984.

Al-Maududi, Abu al-A’la. al-Riba. (Baerut: Dar al-Fikr). tth.

­­­­­­­­­____________________, dkk. Esensi al-Quran. (Bandung: Mizan). 1992.

____________________, Khilafah dan Kerajaan. Terj. (Bandung: Mizan). 1996.

____________________, Pedoman Dasar Untuk Memahami al-Quran. (Jakarta: Gunung Jati). 1984.

____________________, The Meaning of The Quran. (Delhi: Markazi Maktaba Jamaat-E-Islami Hind). 1972.

Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, modernisme hingga Post-modernisme. (Jakarta: Paramadina). 1996.

Raliby, Osman. Pokok-pokok Pandangan Hidup Muslim. Terj. (Jakarta: Bulan Bintang). 1967.

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Quran. (Bandung: Mizan). Cet. 13, Rajab 1417/November 1996.
 
Sjadzali, Munawir. Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan. (Jakarta: UI Press). 1993.



[1] Penulis adalah dosen STAIN Pontianak, lulusan Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada konsentrasi kajian Studi al-Quran dan Hadits tahun 2006.
[2] Nama Abu al-A’la, sempat dipersoalkan oleh beberapa pemikir seangkatannya[2]. Memang jika ditelaah secara etimologi nama tersebut akan berarti, ayahnya Tuhan (al-A’la). Namun hal ini disanggah oleh al-Maududi dengan melandaskan argumentasi pada ayat al-Quran yang juga memberikan panggilan ini kepada Nabi Musa AS dan orang-orang yang beriman. [2] Lihat. Munawir Sjadzali. Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan. (Jakarta: UI Press). 1993. hlm. 158.
[3] Lihat. Azyumardi Azra. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, modernisme hingga Post-modernisme. (Jakarta: Paramadina). 1996. hlm. 153
[4] Lihat, Raliby, Osman. Pokok-pokok Pandangan Hidup Muslim. Terj. (Jakarta: Bulan Bintang). 1967. hlm. 7.
[5] Ada dua metode yang cukup menonjol yang pada decade al-Maududi banyak dijadikan acuan dalam menafsirkan al-Quranmeskipun demikian penulis tidak menafikan metode-metode maupun pendekatan-pendekatan baru yang ditemukan oleh para pakar tafsir dalam mengkaji al-Quran akhir-akhir ini—yaitu metode analisis  dan tematik. Kedua metode ini dapat dibedakan, Pertama; secara definitive bahwa yang dimaksud dengan metode analisis adalah "penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Quran dari sekian banyak seginya yang ditempuh oleh mufasir dengan menjelaskan ayat demi ayat sesuai urutannya di dalam mush-haf melalui penafsiran kosakata, penjelasan sebab nuzul, munasabah, serta kandungan ayat-ayat tersebut sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir itu". Sedangkan metode tematik adalah menetapkan satu topik tertentu, kemudian menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dari beberapa surat yang berbicara tentang topik tersebut, kemudian dikaji dengan cara menghubungkan beberapa hasil temuan ilmiah yang terkait dengan topik tersebut. Kedua; Mufasir analisis memperhatikan susunan sebagaimana tercantum dalam mush-haf. Sedang mufasir tematik, dalam penafsirannya, tidak terikat dengan susunan. ayat dalam mush-haf, tetapi lebih terikat dengan urutan masa turunnya ayat atau kronologi kejadian  Ketiga;. Mufasir analisis berusaha untuk berbicara menyangkut segala sesuatu yang ditemukannya dalam setiap ayat. Sementara para mufasir tematik tidak membahas segala segi permasalahan yang dikandung oleh satu ayat, tapi hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan atau judul yang ditetapkannya Dengan demikian mufasir Mawdhu'i, dalam pembahasannya, tidak mencantumkan arti kosakata, sebab nuzul, munasabah ayat dari segi sistematika perurutan, kecuali dalam batas-batas yang dibutuhkan oleh pokok bahasannya. Dan mufasir analisis berbuat sebaliknya. Keempat; Mufasir analisis biasanya hanya mengemukakan penafsiran ayat-ayat secara berdiri sendiri, sehingga persoalan yang dibahas menjadi tidak tuntas, karena ayat yang ditafsirkan seringkali ditemukan kaitannya dalam ayat lain pada bagian lain surat tersebut, atau dalam surat yang lain. Sedangkan mufasir mawdhu'i berusaha untuk menuntaskan permasalahan-permasalahan yang menjadi pokok bahasannya.
                [6] M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Quran. (Bandung: Mizan). Cet. 13, Rajab 1417/November 1996.
[7] Kitab ini ditulis oleh al-Maududi secara bertahap, yang memakan waktu sekitar 30 tahun. Namun sebelum kitab tafsir ini terselesaikan sempurna, kitab ini telah dipublikasikan dan telah banyak dikonsumsi oleh para pembacanya baik di negara asalnya, India-Pakistan (dengan berbahasa Urdu) maupun di sebagian negara Timur-Tengah. Lihat. Kholil Ahmad al-Hamidi, dalam pengantar Pedoman Dasar Untuk Memahami al-Quran, terj. Abu al-A’la al-Maududi. (Jakarta: Gunung Jati). 1984. hlm. iv. Dan lihat. Abu al-A’la al-Maududi. Khilafah dan Kerajaan. Terj. (Bandung: Mizan). 1996. hlm. 11
[8] M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Quran. (Bandung: Mizan). Cet. 13, Rajab 1417/November 1996.
[9] Lihat. Abu al-A’la al-Maududi________________________________ 1984. hlm. 29-30.
[10] Lihat. Abu al-A’la al-Maududi_______________________________ 1984. hlm. 1
[11] Lihat, al-Maududi, Abu al-A’la. The Meaning of The Quran. (Delhi: Markazi Maktaba Jamaat-E-Islami Hind). 1972. hlm. 5.
[12] Lihat. Abu al-A’la al-Maududi______________________________ 1984. hlm. 27-28
[13] Lihat, al-Maududi, Abul A’la, dkk. Esensi al-Quran. (Bandung: Mizan). 1992. hlm. 71.
[14] Lihat, al-Maududi, Abul A’la,____________________1992. hlm. 84-86.
[15] Lihat. Abu al-A’la al-Maududi­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­_________________________ 1984. hlm. 30.
[16] lihat. Abu al-A’la al-Maududi. Khilafah dan Kerajaan. Terj. (Bandung: Mizan). 1996. hlm. 135-266
[17] Lihat. Abu al-A’la al-Maududi. Al-Riba. (Baerut: Dar al-Fikr). tth. Hlm. 79-115
[18] Lihat. Abu al-A’la al-Maududi____________________________ 1984. hlm. 22-24
[19] Lihat, al-Maududi, Abu al-A’la. The Meaning of The Quran. (Delhi: Markazi Maktaba Jamaat-E-Islami Hind). 1972. hlm. 130.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar