PENGEMBANGAN
PENGALAMAN BELAJAR DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN
Pemakalah :
A Muhklis
S’uudiyanto
M Sholeh
A. Pengertian
Pengalaman Belajar
Istilah
“pengalaman belajar” berarti interaksi antara siswa dan kondisi eksternal di
lingkungan
tempat ia bereaksi(Tyler ) Definisi ini menunjukkan tiga hal penting dalam
proses
belajar: 1) bahwa siswa adalah partisipan yang aktif; 2) bahwa lingkungan yang
ada menarik
perhatian siswa; dan 3) bahwa reaksi siswa timbul dari lingkungan yang ada.
Di sini,
belajar pada hakikatnya adalah tindakan aktif siswa sebagai konsekuensi dari
reaksinya
terhadap kondisi interaksional yang ada pada lingkungannya. Aktivitas belajar
akan tercipta
jika siswa berada pada suatu lingkungan yang memungkinkannya untuk
bereaksi dan
melakukan tindakan‐tindakan
serta mendapatkan pengalaman‐pengalaman.
Partisipasi
aktif dari siswa inilah yang mendukung efisiensi dan efektifitas peranan
belajar
dalam
pembinaan kompetensi siswa. Dengan demikian, belajar adalah serangkaian
aktivitas
siswa yang menghasilkan pengalaman belajar. Pengalaman belajar ini tidak lain
adalah
kompetensi riil yang dimiliki oleh siswa.
Menurut
Sanjaya (2009:84) Pengalaman belajar adalah segala aktivitas siswa dalam
berinteraksi
dengan lingkungan. Pengalaman belajar bukanlah isi atau materi pelajaran
dan bukan
pula aktivitas guru memberikan pelajaran. Tyler
(1990:4) mengemukakan: “The
term “learning experiences” is
not the same as the content with which a course deals nor activities
performed by the teacher. The
term “learning experiences” refers to the interaction between the
learner and the external
conditions in the environment to which he can react. Learning takes place
through the active behavior of
the student; it is what he does that he learns not what the teacher
does”.
Pengalaman
belajar menunjuk kepada aktivitas siswa di dalam proses pembelajaran.
Dengan
demikian, yang harus dipertanyakan dalam pengalaman ini adalah “apa yang
akan atau
telah dikerjakan siswa” bukan “apa yang akan atau telah diperbuat guru”.
Untuk itulah,
guru sebagai pengembang kurikulum mestinya memahami minat siswa,
serta
bagaimana latar belakangnya. Pemahaman tersebut akan memudahkan guru dalam
mendesain
lingkungan yang dapat mengaktifkan siswa memperoleh pengalaman belajar.
Meskipun
siswa merupakan aktor utama dalam proses pencapaian pengalaman
belajar, namun
guru juga merupakan aktor yang memiliki peranan penting dalam
memberikan
pengalaman belajar bagi siswa. Pemberian pengalaman belajar dilakukan
oleh guru
melalui penentuan suatu lingkungan dan penyusunan situasi yang dapat
menimbulkan
stimulasi dan reaksi yang esensial dalam proses belajar. Kenyataan bahwa
setiap siswa
memiliki pengalaman yang berbeda‐beda menjadi dasar bagi tanggung jawab
guru untuk
menentukan situasi‐situasi yang
mampu membangkitkan pengalamanpengalaman
yang
diinginkan.
B. Prinsip‐Prinsip Pemilihan Pengalaman
Belajar
Pengalaman‐pengalaman belajar sangatlah
banyak dan beragam. Namun, tidak semua
pengalaman
belajar dapat digunakan untuk mencapai suatu tujuan. Karena itu,
pengalaman‐pengalaman belajar yang ada perlu
diseleksi berdasarkan jenis tujuan yang
ditentukan.
Penyeleksian ini sangat penting agar pengalaman belajar yang dipilih dan
diaplikasikan
dalam suatu proses pembelajaran dapat lebih efisien dan efektif dalam
mencapai
tujuan belajar yang telah ditentukan.
2
Ada beberapa
prinsip umum yang diterapkan dalam penyeleksian pengalaman
belajar.
Prinsip umum pertama, yang berkaitan dengan tujuan
tertentu yang dicapai, ialah
bahwa siswa
harus mempunyai pengalaman yang memberikan kesempatan kepadanya
untuk melatih
diri dalam jenis perilaku yang dijelaskan dalam tujuan. Bisa dikatakan, jika
salah satu
tujuan ialah untuk mengembangkan keterampilan dalam memecahkan
masalah.
Demikian juga halnya, jika tujuan yang lain ialah untuk mengembangkan minat
dalam membaca
beragam buku, tujuan ini tidak dapat dicapai kecuali jika siswa
mempunyai
kesempatan untuk membaca beragam buku dengan cara yang memberikan
kepuasan bagi
mereka. Ini benar dalam hubungannya dengan setiap jenis tujuan, adalah
penting bahwa
pengalaman belajar yang ditentukan yang memberikan kesempatan
kepada siswa
untuk latihan jenis perilaku yang tercantum dalam pengalaman belajar.
Prinsip umum kedua ialah bahwa pengalaman belajar
harus mampu mengkondisikan
siswa untuk
memperoleh kepuasan dari pelaksanaan perilaku yang dicantumkan dalam
tujuan.
Contoh pengalaman belajar dalam prinsip ini adalah “mengembangkan
keterampilan
dalam memecahkan problem kesehatan”. Pada pengalaman belajar ini,
siswa
mendapatkan kesempatan untuk memecahkan problem kesehatan dan
menghasilkan
solusi yang efektif. Solusi yang efektif atas problem kesehatan didapatkan
akan
memberikan kepuasan kepada siswa. Jika pengalaman di atas tidak memuaskan,
maka belajar
dipandang tidak berhasil. Dengan demikian, kepuasan yang diperoleh dari
pengalaman
belajar merupakan salah satu indikator penting dalam hasil belajar siswa.
Prinsip umum ketiga ialah bahwa reaksi yang dinginkan
dalam pengalaman belajar
berada dalam
kisaran kemungkinan bagi siswa yang bersangkutan. Dalam prinsip ini,
pengalaman
belajar diharapkan bisa sedapat mungkin mempengaruhi dan menimbulkan
responsi
siswa. Responsi yang dimaksud adalah sikap atau perilaku yang ditunjukkan
siswa pada
saat kegiatan belajar berlangsung. Sikap dan perilaku ini tentunya harus
mengarah
kepada pencapaian tujuan belajar yang diinginkan.
Prinsip umum keempat ialah bahwa banyak pengalaman
khusus yang dapat digunakan
untuk
mencapai tujuan pendidikan yang sama. Berbagai pengalaman pendidikan dapat
ditemukan
untuk kemudian dipikirkan relefansinya dengan tujuan pendidikan.
Pengalaman‐pengalaman pendidikan, selama
memenuhi kriteria‐kriteria
belajar efektif,
sangat
bermanfaat bagi pencapaian tujuan yang diinginkan. Pengertian ini
mengimplikasikan
berbagai tuntutan. Guru dituntut untuk kreatif dan inovatif dalam
merencanakan
pekerjaannya. Sekolah juga harus bisa mengembangkan dan memperluas
pengalaman‐pengalaman pendidikan. Kurikulum
dalam hal ini tidak perlu memberikan
seperangkat
pengalaman yang terbatas agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai.
Prinsip umum kelima ialah bahwa pengalaman belajar
yang sama biasanya akan
menghasilkan
beberapa hasil. Sebagai contoh, sewaktu siswa memecahkan masalah
tentang
kesehatan, ia juga memperoleh informasi tertentu dalam bidang kesehatan; Ia
mungkin juga
mengembangkan sikap tertentu ke arah pentingnya prosedur kesehatan
masyarakat.
Setiap pengalaman belajar cenderung memberikan lebih dari satu tujuan
belajar.
Pengalaman belajar yang telah direncanakan dengan sebaik‐baiknya akan
menghasilkan
pengalaman yang pada waktu yang bersamaan bermanfaat dalam
mencapai
beberapa tujuan.
Sanjaya
(2009) menguraikan tentang beberapa prinsip engembangan pengalaman
belajar.
Pertama, pengalaman siswa harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Setiap
tujuan akan
menentukan pengalaman belajar. Kedua, setiap pengalaman belajar harus
memuaskan
siswa. Ketiga, setiap rancangan pengalaman belajar sebaiknya melibatkan
3
siswa.
Keempat, mungkin dalam satu pengalaman belajar dapat mencapai tujuan yang
berbeda.
Terdapat
beberapa bentuk pengalaman belajar yang dapat dikembangkan, misalnya
pengalaman
belajar untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa, pengalaman
belajar untuk
membantu siswa dalam mengumpulkan sejumlah informasi, pengalaman
belajar untuk
membantu mengembangan sikap sosial, dan pengalaman belajar untuk
membantu
mengembangkan minat.
C.
Karakteristik Pengalaman Belajar
Karena
banyaknya tujuan yang memungkinkan dikembangkan dalam berbagai
pengalaman
belajar, tidak mungkin untuk memasukkan semua pernyataan komprehensif
tentang
karakteristik pengalaman belajar. Akan tetapi, kita harus mempertimbangkan
beberapa
sampel jenis umum tentang tujuan dan mencatat beberapa karakteristik penting
yang
diperlukan dari pengalaman belajar untuk mencapai tujuan.
1. Pengalaman
belajar untuk mengembangkan ketrampilan berpikir.
Istilah
‘’berpikir’’ digunakan dalam berbagai cara, tetapi, pada umumnya, jenis
perilaku yang
ditentukan ialah berkenaan dengan dua ide atau lebih bukan hanya
mengingat dan
mengulang‐ulang ide tersebut. Berpikir
induktif meliputi penggambaran
generalisasi
dari beberap item dari data khusus. Berpikir deduktif meliputi penerapan
satu
generalisasi atau lebih pada kasus khusus. Berpikir logis meliputi pengaturan
asumsi,
dan
kesimpulan dengan cara untuk mengembangkan suatu argumentasi logis. Sangat
umum, dalam
situasi khusus, beberpa jenis berpikir akan diperlukan sehingga jarang bagi
seorang guru
untuk berkonsentrasi hanya pada satu aspek berpikir. Karena pengalaman
belajar harus
memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan jenis‐jenis berpikir
ini, maka
penting bahwa situasi seperti itu untuk menstimulir jenis perilaku ini. Kajian
tentang
belajar dalam bidang ini menunjukkan bahwa karena para siswa dihadapkan
pada problem
yang tidak dapat mereka jawab dengan segera, maka ada kecenderungan
bahwa mereka
akan mengarahkan pada berbagai jenis berpikir. Lebih lanjut, problem atau
soal‐soal tidak perlu merupakan jenis
pertanyaan dimana jawabannya dapat diperoleh
dengan segera
dengan melihatnya dalam buku teks atau beberapa bahan referensi
lainnya. Soal‐soal harus merupakan jenis yang
memerlukan hubungan dari berbagai fakta
dan idea agar
dapat memperoleh semua jenis solusi. Juga diinginkan bahwa soal‐soal
ditentukan
dalam jenis lingkungan dimana soal tersebut biasanya ada dalam kehidupan.
Ini ada
kecenderungan dihasilkan saat dia melihatnya sebagai suatu problem nyata yang
baik bagi
usahanya untuk memecahkannya.
Ketika siswa
tersebut memperoleh pengalaman awal dalam mengerjakan soal, akan
perlu
menentukan situasi sehingga akan melihat dan mengikuti langkah‐langkah berpikir
dalam urut‐urutan normal mereka. Ini bisa
meliputi langkah‐langkah
sebagai berikut: (a)
merasakan
kesulitan atau suatu pertanyaan yang tidak dapat dijawab pada saat ini, (b)
mengidentifikasi
problem secara lebih jelas dengan menganalisisnya, (c) mengumpulkan
fakta yang
relevan, (d) merumuskan hipothesis yang memungkinkan penjelasan atau
solusi
alternatif terhadap problem tersebut, (e) menguji hipothesis dengan makna yang
tepat, dan
(f) membuat kesimpulan – yaitu, memecahkan problem. Dalam merumuskan
hipothesis
yang memungkinkan, siswa mampu menarik generalisasi atau prinsip‐prinsip
yang telah
mereka ketahui dan mungkin dalam hal ini dapat memecahkan problem yang
segera tanpa
menguji hipothesis bahwa prinsip ini adalah relevan. Dalam hal‐hal khusus,
langkah‐langkah dalam pemecahan masalah
atau penyelesaian soal‐soal ini
mungkin
beragam;
tetapi, secara umum, pengalaman belajar harus memberikan suatu kesempatan
4
bagi siswa
untuk diikuti melalui langkah‐langkah penting untuk mengetahui apa yang
dilakukan
dalam masing‐masing
langkah sehingga menjadi trampil dalam mengambil
langkah‐langkah yang perlu.
Sudah barang
tentu, harus jelas bahwa siswa belajar untuk berpikir melalui
pengalaman
tentang pemecahan masalah bagi dirinya sendiri. Dia belum mencapai tujuan
ketika guru
melakukan pemecahan masalah dan siswa hanya memperhatikan. Juga harus
terbukti
bahwa langkah‐langkah
tertentu dari pemecahan masalah agaknya memerlukan
perhatian
pada tahap yang berbeda dalam kematangan siswa. Sebagai misal, langkah
yang
memerlukan pengumpulan fakta yang relevan agar memiliki dasar untuk memilih
solusi yang
memungkinkan dan memerlukan latihan khusus pada tahun awal dari
sekolah dasar
dan sekolah menengah. Sayangnya, dalam matematika siswa biasanya
diberikan
semua fakta yang dia perlukan sehingga semua yang harus dilakukannya ialah
membuat
hitungan. Selanjutnya, ketika dia dihadapkan pada pentingnya mendapatkan
kepastian
tentang fakta untuk dirinya sendiri, dia seringkali tidak mengetahui, fakta apa
yang
diperlukannya dan kemana dia dapat memperolehnya. Eksperimen‐eksperimen
menunjukkan
bahwa siswa yang diberikan latihan khusus dalam memutuskan tentang
fakta relevan
yang diperlukan dan kemana dan bagaimana memperolehnya menunjukkan
kemajuan yang
lebih besar dalam belajar memecahkan masalah. Sebaliknya, penekanan
terhadap cara‐cara mengumpulkan fakta yang
relevan mungkin tidak begitu penting di
pendidikan
tinggi jika siswa telah memperoleh ketrampilan dalam proses ini dalam
pendidikan
sebelumnya.
Sebagian
eksperimen belajar yang telah dilakukan dalam mencari jawaban
pertanyaan,
‘’Apakah akan membantu untuk mengajarkan siswa untuk menganalisis
masalah?’’
Satu penelitian telah dilakukan dengan anak‐anak pada kelas sembilan.
Ditemukan
bahwa siswa‐siswa menggunakan beberapa cara
yang berbeda dalam
mengatasi
masalah. Mereka mendapatkan bahwa sebagian siswa dapat melihat ke depan
dan membuang
sebagian langkah‐langkah cepat
dalam pemecahan masalah. Yang lainnya
akan
melewatinya melalui langkah‐langkah rutinitas yang terinci dan cara yang
memerlukan
banyak usaha selangkah demi selangkah melalui masing‐masing tahap
dalam
analisis tersebut. Ketika semua siswa diajarkan satu metode khusus tentang
analisis,
ditemukan bahwa siswa yang lebih lambat, mengalami kemajuan yang
menggembirakan.
Ini menggambarkan bahwa sebagian siswa harus diajarkan selangkah
demi
selangkah yang lainnya seringkali dapat membuat lompatan mental/besar dan tidak
harus
diberikan suatu bentuk analisis yang terinci.
2. Pengalaman
belajar dalam memperoleh informasi.
Pengalaman
belajar jenis ini meliputi tujuan untuk mengembangkan pemahaman halhal
yang khusus
danmengembangkan pengetahuan. Biasanya, jenis informasi yang
diperoleh
termasuk prinsip‐prinsip,
hukum atau pereturan, teori, eksperimen, dan bukti
yang
mendukung generalisasi, ide, fakta, dan istilah. Diasumsikan bahwa tujuan
seperti
itu adalah
penting jika informasi tersebut dianggap sebagai fungsional; yaitu, bermanfaat
berkenaan
dengan serangan para siswa terhadap problem atau dengan bimbingan dari
prakteknya
dan sejenisnya. Tidak diasumsikan bahwa informasi akan mempunyai nilai
sebagai suatu
tujuan itu sendiri.
Terdapat lima
kelemahan dari belajar informasi. Pertama, siswa seringkali menghapal
dengan
hafalan bukan memperoleh semua pemahaman yang nyata atau kemampuan
untuk
menerapkan ide yang mereka ingat. Sebagai contoh, John Dewey melaporkan
sebuah kelas
di sekitar kota Chicago yang mempelajari bagaimana cara bumi terbentuk.
John Dewey menanyakan
kepada para siswa apakah, jika mereka dapat menggali pusat
5
dari bumi,
mereka akan merasakan panas atau dingin di sana. Tidak ada seorang anakpun
yang dapat
menjawab. Kemudian gurunya mengatakan kepada John Dewey bahwa dia
memberikan
pertanyaan yang salah. Guru tersebut berbalik menghadap anak‐anak dan
mengatakan:
‘’Anak‐anak, bagaimanakah kondisi pada
pusat bumi?’’anak‐anak menjawab
secara
bersamaan,’’Dalam keadaan campuran panas,’’Hafalan tanpa pemahaman secara
bersamaan
adalah biasa dan merupakan akibat dari pengalaman dewasa ini yang
digunakan
untuk mengembangkan informasi. Kedua dalam mempelajari informasi
seringkali
siswa mudah lupa.
Ketiga,
kurangnya organisasi yang memadai. Banyak para siswa mengingat informasi
hanya ketika
beberapa waktu yang terpisah dan tidak dapat menghubungkan item‐item
ini dengan
semua bentuk yang terorganisir atau bentuk yang sistematis. Keempat, tingkat
kesamaran
atau kekaburan dalam daya ingat siswa sehingga siswa memiliki keakraban
yang terbatas
dengan sumber‐sumber
informasi.
3. Pengalaman
belajar dalam mengembangkan sikap sosial.
Tujuan yang
dapat diklasifikasikan sebagai pengembangan sikap sosial meliputi halhal
yang
ditekankan di dalam ilmu pengetahuan sosial, di dalam kesusasteraan, di dalam
seni,
pendidikan olah raga, kegiatan ekstra‐kurikuler, dan sejenisnya. Sikap didefinisikan
sebagai suatu
tendensi untuk bereaksi meskipun reaksi tersebut sebenarnya tidak
berperan.
Setiap orang telah mengalami suatu keinginan untuk melakukan sesuatu, suatu
perasaan
kesiapan untuk bereaksi dengan cara tertentu, yang biasa mendahulukan reaksi
terbuka, atau
dilihat, dan dalam beberapa hal mungkin menghalangi sehingga tidak ada
reaksi yang
dapat dilihat yang sebenarnya berperan. Dengan demikian, seseorang bisa
mempunyai
suatu sikap tidak menyenangkan kearah seorang kolega tetapi tidak akan
mengekspresikannya
secara verbal atau fisik. Pentingnya sikap yang timbul dari fakta
bahwa sikap
berpengaruh sangat kuat terhadap perilaku yaitu, tindakan yang dapat
dilihat dan
juga sangat mempengaruhi jenis‐jenis kepuasan dan nilai‐nilai yang dipilih
oleh
individu.
Kajian
tentang perkembangan sikap menunjukkan bahwa ada empat makna utama
dimana sikap
biasa berkembang pada orang. Metode yang paling sering ialah melalui
asimilasi dari lingkungan. Hal‐hal yang dianggap sudah biasa oleh
orang di sekitar kita,
sudut
pandangan yang biasa dipertahankan oleh teman kita dan sahabat kita ialah
merupakan
ilustrasi dari sikap lingkungan yang seringkali diasimilasikan tanpa kita
menyadari
tentang hal tersebut. Metode yang kedua dan mungkin yang paling sering
digunakan
untuk memperoleh sikap timbul dari pengaruh emosional dari jenis
pengalaman
tertentu. Secara umum, jika seseorang telah memperoleh pemenuhan
pengalaman
dalam satu hubungan khusus, dia mengembangkan suatu sikap yang
menyenangkan
bagi beberapa muatan atau aspek dari pengalaman tersebut, sedangkan
jika dia
telah memiliki suatu akibat yang tidak memuaskan dari pengalaman, sikapnya
bisa menjadi
antagonis. Metode ketiga yang paling sering tentang pengembangan sikap
ialah melalui
pengalaman yang traumatis, yaitu, pengalaman yang mempunyai suatu
akibat
emosional yang mendalam. Jadi, seorang remaja mungkin dapat berkembang rasa
takutnya
sepanjang malam terhadap anjing dari satu pengalaman tentang takut digigit
oleh anjing
tersebut. Akhirnya, metode yang keempat tentang pengembangan sikap ialah
melalui
proses intelektual langsung. Dalam beberapa hal jika kita melihat implikasi
dari
perilaku
khusus, jika kita menganalisis hakikat dari suatu obyek atau proses khusus,
kita
diarahkan
untuk mengembangkan suatu sikap yang menyenangkan atau tidak
menyenagkan
terhadapnya dari pengetahuan yang kita peroleh dari analisis intelektual.
Sayangnya,
sikap terbentuk melalui proses intelektual tertentu tersebut tidak sering
6
seperti yang
diperoleh dengan cara lainnya. Dari keempat metode pengembangan sikap
tersebut,
yang ketiga rupa‐rupanya tidak
begitu bermanfaat bagi sekolah. Pengalaman
traumatis
melibatkan reaksi emosional yang tegang adalah terlalu berat untuk dikontrol
yang
digunakan secara sistematis di dalam suatu program pendidikan. Oleh karena itu,
sekolah
seharusnya bertumpu pada penggunaan suatu proses asimilasi dari lingkungan,
dari
pengembangan sikap melalui pengaruh emosional dari pengalaman khusus, dan
melalui
proses intelektual langsung.
Beberapa
generalisasi bisa digambarkan berkenaan dengan pengalaman belajar untuk
mengembangkan
sikap. Pada tempat perama, sekolah dan lingkungan masyarakat
seharusnya,
sejauh mungkin, dimodifikasi dan dikontrol sedemikian rupa untuk
meningkatkan
sikap yang diinginkan. Di kalangan masyarakat modern ada pemisahan
antara
sekolah dan rumah, sekolah dan gereja, sekolah dan masyarakat lainnya berkenaan
dengan sikap
yang dikembangkan lingkungan adalah tidak konsisten; nilai, sudut
pandang
dianggap sudah biasa dalam tekanan yang diumumkan di atas mimbar, nilainilai
yang
ditekankan dalam bioskop adalah bertentangan dengan usaha sekolah untuk
mengembangkannya.
Ada suatu kebutuhan yang besar untuk berusaha untuk
memodifikasi
lingkungan para remaja melalui pengalaman mereka agar dapat membantu
dia
mengembangkan sikap sosialyang baik. Ini berarti meningkatkan tingkat
konsistensi
lingkungan
dan membantu untuk memberikan dorongan penekanan pada sikap bukan
sikap yang
mementingkan diri sendiri.
Ini secara
khusus memungkinkan bagi sekolah untuk mengembangkan lingkungan
sekolah yang
lebih menyatu agar dapat mengembangkan sikap. Jika fakultas menguji halhal
yang dianggap
biasa dalam sudut pandang dari para anggota staf, dalam aturan dan
tata tertib
dan praktek di sekolah, seringkali memungkinkan untuk memodifikasi hal‐hal
tersebut
secara jelas sehingga dapat mengembangkan suatu lingkungan yang lebih
terpadu yang
akan membantu menekankan sikap sosial.
Sebuah
tendensi umum pada masyarakat tertentu cenderung merusak sikap sosial
bukan
mengembangkannya: yaitu, kegagalan untuk menentukan hakikat struktur sosial
yang ada di
luar sekolah dan asumsi bahwa sudut pandang dari kelas menengah dari
guru‐guru di sekolah adalah sudut
pandang yang bagus meskipun sudut pandang
tersebut
mungkin bertentangan secara tajam dengan lingkungan sosial yang diberikan
oleh berbagai
keluarga dan kelompok ethnis, dan kelompok kelas sosial di dalam
masyarakat.
Dengan memperkuat sikap sosial yang positif di dalam masyarakat dan
membuat
sekolah konsisten dengannya bukan keharusan untuk menguatkan suatu
pandangan
khusus yang dipegang oleh sekelompok guru‐guru tertentu, seringkali
memungkinkan
untuk memperoleh tingkat kesatuan yang jauh lebih besar di lingkungan
anak‐anak dan oleh karennya
meningkatkan pengembangan sikap sosial dengan mereka.
Kelemahan
yang kedua yang diatasi di banyak sekolah ialah eksistensi dari kondisi
anti sosial
di sekolah. Penerimaan dari klik‐klik tertentu, itensifikasi dari garis‐garis kelas
sosial di
dalam sekolah melalui organisasi sosial informal dan melalui perlakuan yang
diberikan
guru‐guru kepada anak‐anak yang berbeda seringkali bisa
mengembangkan
sikap
mementingkan diri sendiri tanpa kesadaran kita tentang hal tersebut. Sebuah
pengujian
yang hati‐hati tentang lingkungan sekolah
akan menggambarkan banyaj
kemungkinan
untuk menggunakannya untuk mengembangkan sikap yang diinginkan.
Dalam
mengembangkan sikap melalui penggunaan pengalaman yang mempunyai
kebersamaan
emosional yang memuaskan, penting untuk memberikan kesempatan bagi
siswa untuk
berperilaku dengan cara yang diinginkan dan untuk memperoleh kepuasan
dari hal
tersebut. Sebagai contoh, jika di sekolah dasar suatu usaha dilakukan untuk
7
mengembangkan
secara lebih baik, lebih banyak sikap sosial, penting untuk memberikan
pengalaman di
mana anak‐anak mempunyai kesempatan untuk
berbagai dengan anakanak
dari kelompok‐kelompok rasial lainnya, untuk
melayani dan dilayani oleh mereka,
namun di
dalam situasi yang memberikan banyak kepuasan dari jenis berbagi rasa ini, hal
ini saling
memberi dan saling menerima. Jika anak‐anak telah merencanakan sebuah pesta
bersama‐sama dan mempunyai kepuasan dari
menjalankan segala hal secara berhasil, ini
merupakan
salah satu ilustrasi untuk menentukan suatu pengalaman di mana dia
menginginkan
sikap sosial dapat direfleksikan dan kepuasan dapat diperoleh pada waktu
yang
bersamaan.
Dalam
menggunakan proses intelektual untuk mengembangkan sikap sosial,
pengalaman
harus seperti itu untuk memberikan suatu analisis yang luas tentang situasi
sosial, untuk
mengembangkan, yang pertama, pemahaman dan selanjutnya sikap yang
diinginkan.
Dalam beberapa hal, suatu serangan frontal terhadap beberapa jenis problem
sosial
tidaklah mungkin. Jika para siswa mempunyai prasangka dan konsepsi stereotipe,
ini bisa
menghambat pemahaman mereka dan mereka gagal untuk melihat logika tentang
pandangan
sosial. Dalam hubungan ini, seringkali bermanfaat untuk memberikan suatu
kesempatan
kepada pada siswa untuk memperoleh pengalaman tangan pertama dengan
problem,
untuk mengetahuinya sendiri hakikat yang serius tentang pengangguran,
misalnya,
agar dapat memperoleh dengar pendapat tentang cara‐cara yang
memungkinkan
berkenaan dengan problem seperti itu. Kesusastraan atau bioskop (motion
picture) dapat memberikan suatu pendapat
pribadi tentang beberapa jenis situasi sosial
yang tidak
akan diperoleh oleh kajian yang sepintas dari data itu saja. Dengan
menggunakan
metode ini, bidang problem dapat terbuka untuk kajian. Selanjutnya jika
telah ada
pemahaman yang jelas tentang situasi tersebut, memungkinkan untuk
membantu para
siswa untuk mengembangkan sikap karena mereka mengetahui implikasi
tentang sudut
pandangan yang mereka gunakan. Akhirnya, dalam program tentang
pengembangan
sikap seperti itu melalui proses intelektual, diinginkan secara periodik
bagi para
siswa untuk me‐review
perilaku mereka dalam bidang khusus, untuk
membantu
mengecek dengan tujuan dimana mereka memberikan layanan yang berupa
janji‐janji kosong, untuk mengetahui
sejauh mana perilaku mereka sendiri sesuai dengan
apa yang
diyakini oleh profesi mereka. Jenis tinjauan ulang periodik ini membantu juga
untuk
memengaruhi dan mengembangkan sikap.
Harus jelas
bahwa tidak ada cara di mana orang‐orang dapat dipaksa untuk
mempunyai
sikap yang berbeda. Perubahan perilaku menumbuhkan perubahan siswa
dalam
memberikan pandangan dan ini muncul dari suatu wawasan yang baru dan
pengetahuan
yang baru tentang situasi atau kepuasan atau ketidakpuasan yang telah
mereka
peroleh dari pandangan khusus yang sebelumnya telah diyakini atau kombinasi
dari prosedur
ini. Pengalaman belajar, selanjutnya, ditentukan sedemikian rupa untuk
memberikan
jenis‐jenis kesempatan seperti ini untuk
wawasan dan untuk kepuasan.
4. Pengalaman
belajar dalam mengembangkan minat.
Minat yang
berkenaan dengan pendidikan baik sebagai tujuan akhir dan makna; yaitu,
sebagai
tujuan dan sebagai kekuatan yang memotivasi dalam hubungannya dengan
pengalaman
untuk mencapai tujuan. Bagaimanapun juga, pada poin ini, kita
mempertimbangkan
minat sebagai suatu jenis tujuan. Minat seringkali ditekankan sebagai
tujuan
pendidikan yang penting karena apa yang menarik bagi seseorang sebagian besar
menentukan
apa yang dia tuju dan seringkali apa yang dia lakukan. Oleh karena itu,
minat
cenderung memfokuskan perilaku pada arah khusus bukan yang lainnya dan hal
itulah
penentu yang sangat kuat dari jenis setiap orang.
8
Persyaratan
pokok dari pengalaman belajar dirancang untuk mengembangkan minat
yaitu
pengalaman tersebut membuat siswa dapat untuk mengasalkan kepuasan dari
bidang
pengalaman di mana minat dikembangkan. Oleh karena itu, pengalaman belajar
untuk
mengembangkan minat harus memberikan kepada para siswa suatu kesempatan
untuk
menyelidiki bidang‐bidang di
mana minat harus dikembangkan dan mempunyai
hasil yang
memuaskan dari penyelidikan ini. Kepuasan dapat tumbuh dari beberapa
sumber. Ada
yang disebut kepuasan fundamental yang rupa‐rupanya menjadi pokok bagi
semua orang.
Ini meliputi hal‐hal seperti
misalnya kepuasan dari pengakuan sosial;
kepuasan dari
terpenuhinya kebutuhan fisik seperti makanan, istirahat, dan sejenisnya;
kepuasan dari
keberhasilan, yaitu memperoleh aspirasi seseorang dan sebagainya.
Bilamana
memungkinkan, maka, pengalaman belajar yang memberikan kesempatan bagi
siswa untuk
memperoleh kepuasan fundamental ini agaknya juga mengembangkan minat
dalam
kegiatan ini.
Basis yang
kedua di mana suatu kegiatan dapat terpenuhi ialah meng‐hubungkannya
dengan
beberapa pengalaman lainnya yang memuaskan. Penggunaan simbol‐simbol yang
dilakukan
secara emosional, penentuan suatu kegiatan individual di dalam konteks dari
suatu
kegiatan sosial adalah merupakan ilustrasi tentang usaha untuk menghubungkan
suatu
kegiatan khusus yang bukan memuaskan secara fundamental didalamnya sendiri
dengan
sesuatu yang memuaskan sehingga pengaruh emosional akan terlampaui dan
mengembangkan
kepuasan dalam sesuatu yang dihubungkan dengan hal itu. Oleh karena
itu, para
remaja yang tidak memperoleh kepuasan fundamental dari membaca, misalnya,
bisa
diarahkan untuk menikmati membaca melalui menentukannya dalam suatu situasi
yang
memuaskan atau dalam menghubungkan membaca dengan pengalaman yang dapat
dinikmati.
Dengan anak‐anak yang lebih muda yang
mempunyai kondisi kesehatan yang bagus,
kebutuhan
untuk kegiatan sebagian besar dapat diharapkan mendukung kepuasan
dengan
penyelidikan yang luas tentang berbagai jenis kegiatan. Hingga minat mereka
dipersempit
dan disalurkan, jenis kegiatan tersebut rupa‐rupanya memperoleh kepuasan
dari sensasi‐sensasi halus dan dari berbagai
kegiatan bebas. Kepuasan dari keingintahuan
juga
memuaskan bagi anak‐anak oleh
karena itu, adalah suatu hal yang memungkinkan
dalam bekerja
dengan para remaja kelompok umur untuk mengharapkan pada
penyelidikan
harus karena memberikan dasar bagi kepuasan yang meningkatkan selama
penyelidikan
tersebut tidak menyangkal kepuasan fundamental, seperti misalnya,
memberikan
arti kegagalan kepada siswa atau ditertawakan, atau dengan cara‐cara lain
membuat
kegiatan tersebut tidak memuaskan karena memberikan hasil negatif kepada
dia.
Problem yang
paling sulit dalam menentukan pengalaman belajar untuk mencoba
membuat
menarik jenis kegiatan yang telah semakin membosankan atau tidak nyaman
bagi siswa.
Kegiatan seperti itu tidak lagi menarik perhatian melalui pengulangan secara
halus. Perlu
untuk menggunakan suatu pendekatan yang baru agar dapat mengalihkan
miant.
Pendekatan baru tersebut bisa meliputi penggunaan materi yang sama sekali
berbeda atau
bisa melalui penempatan pengalaman belajar dalam suatu konteks yang
sama sekali
baru yang nyaman bagi siswa.
Mungkin
keempat ilustrasi ini cukup untuk menggambarkan cara dimana kita dapat
mengerjakan
daftar karakteristik yang berhubungan dengan pengalaman belajar yang
dapat
digunakan dalam kaitannya dengan satu jenis tujuan utama. Dalam perencanaan
kurikulum
analisis jenis ini harus dibuat untuk setiap jenis tujuan perilaku. Analisis
9
seperti itu
akan membantu mengklarifikasikan definisi lebih lanjut tentang perilaku dan
akan sangat
membantu dalam penyeleksian pengalaman belajar.
Kenyataan
bahwa terdapat banyak pengalaman belajar yang dapat digunakan untuk
mencapai
suatu tujuan tertentu dan bahwa pengalaman yang sama seringkali dapat
digunakan
untuk mencapai beberapa tujuan yang berarti bahwa proses perencanaan
pengalaman
belajar bukan merupakan suatu metode makanis dari penentuan pengalaman
yang
digambarkan secara tertentu untuk setiap tujuan khusus. Akan tetapi proses
tersebut
adalah yang
lebih kreatif; ketika guru menentukan tujuan yang diinginkan dan
menggambarkan
tentang jenis pengalaman yang dapat terjadi kepadanya atau dia telah
mendengar
bahwa orang lain menggunakannya, dia mulai memikirkan tentang
serangkaian
kemungkinan tentang hal‐hal yang
dapat dilakukan, kegiatan yang mungkin
dilaksanakan,
bahan‐bahan yang mungkin digunakan.
Ketika hal ini telah terbentuk
dalam
pikirannya, akan lebih baik untuk menulisnya sebagai pengalaman belajar yang
memungkinkan.
Ketika dia menulisnya, mereka bisa membuat secara garis besar secara
lebih terinci
untuk menunjukkan bahwa apa yang ditulis akan dimasukkan. Draft tentang
pengalaman
belajar tertentu secara uji coba tersebut sebaiknya diperiksa lagi secara
hatihati
terhadap
tujuan yang diinginkan untuk melihat terlebih dahulu apakah pengalaman
yang diajukan
tersebut memberikan suatu kesempatan atau tidak bagi siswa untuk
melaksanakan
jenis perilaku yang dicantumkan oleh tujuan. Selanjutnya yang kedua,
pengalaman
belajar yang diajukan dapat diperiksa kembali dengan kriteria tentang
pengaruhnya.
Apakah pengalaman yang digambarkan tersebut akan memuaskan bagi
siswa khusus
menurut apa yang telah direncanakan? Jika tidak menghasilkan pengaruh
yang
memuaskan, agaknya tidak ada kecenderungan untuk menghasilkan hasil yang
diinginkan.
Yang ketiga, pengalaman belajar yang diajukan dapat dicek dalam hal
kesiapannya.
Apakah memerlukan tindakan dimana para siswa belum mempunyai
kesiapan atau
mampu melaksanakannya? Apakah mereka menahan bantahan terhadap
prasangka atau
pikiran yang ada pada para siswa? Akhirnya, hal tersebut dapat diperiksa
dari segi
ekonomi untuk pelaksanaanya. Apakah pengalaman yang diberikan untuk
pencapaian
beberapa tujuan saja? Setelah mengecek pengalaman belajar dengan kriteria
umum ini,
selanjutnya lebih baik mengeceknya juga tentang beberapa karakteristik yang
lebih yang
dicantumkan di dalam generalisasi tentang karakteristik dari pengalaman
belajar yang
diisyaratkan untuk jenis tujuan yang berbeda‐beda. Jika rumusan secara uji
coba tentang
pengalaman tersebut memenuhi kriteria ini secara memuaskan, maka akan
kelihatan
menjadi suatu perencanaan yang menjanjikan untuk dikembangkan. Jika
sebagian dari
kriteria tidak terpenuhi dengan baik, mungkin ada kemungkinan untuk
direvisi agar
membuat pengalaman tersebut lebih efektif. Jika pengalaman sebagian besar
tidak memadai
dalam hal kriteria ini, maka rumusan tentatif tersebut harus dibuang dan
yang lainnya
dikembangkan. Dengan cara ini proses penyeleksian pengalaman belajar
memberikan
kesempatan untuk proposal yang selanjutnya diperiksa secara hati‐hati
tentang
kriteria yang tepat. Sebagai hasilnya, ada kesempatan bagi keartisan dan
evaluasi
yang cermat
sebelumnya untuk menentukan perencanaan tertentu untuk program
intruksional.
D.
Mengorganisasikan Pengalaman Belajar
Menurut
Sanjaya pengorganisasian pengalaman belajar dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu
pengorganisasian secara vertikal dan pengorganisasian secara horizontal.
Pengorganisasian
secara vertikal apabila menghubungkan pengalaman belajar dalam satu
kajian yang
sama dalam tingkat yang berbeda. Misalnya, pengorganisasian pengalaman
10
belajar yang
menghubungkan antara bidang geografi di kelas lima dan geagrafi di kelas
enam.
Sedangkan pengorganisasian secara horizontal jika kita menghubungkan
pengalaman
belajar dalam bidang geografi dan sejarah dalam tingkat yang sama. Kedua
hubungan ini
sangat penting dalam proses mengorganisasikan pengalaman belajar.
Misalnya,
hubungan vertikal akan memungkinkan siswa memiliki pengalaman belajar
yang semakin
luas dalam kajian yang sama; sedangkan hubungan horizontal antara
pengalaman
belajar yang satu dan yang lain akan saling mengisi dan memberikan
penguatan.
Ada tiga
prinsip menurut Tyler dalam mengorganisasikan pengalaman belajar, yaitu
kontinuitas,
urutan isi, dan integrasi.
Prinsip
kontinuitas ada yang bersifat vertikal dan horizontal. Bersifat vertikal
artinya
bahwa
pengalaman belajar yang diberikan harus memiliki kesinambungan yang
diperlukan
untuk pengembangan pengalaman belajar selanjutnya. Contohnya, apabila
anak
diberikan pengalaman belajar tentang pengembangan kemampuan membaca bahanbahan
pelajaran
studi sosial maka harus diyakini bahwa pengalaman belajar tersebut akan
dibutuhkan
untuk mengembangkan keterampilan berikutnya, seperti keterampilan
memecahkan
masalah‐masalah sosial.
Prinsip
kontinuitas yang bersifat horizontal artinya bahwa suatu pengalaman belajar
yang
diberikan kepada siswa harus memiliki fungsi dan bermanfaat untuk memperoleh
pengalaman
belajar dalam bidang lain. Contohnya, pengalaman belajar dalam bidang
aritmatika
harus dapat membantu untuk memperoleh pengalaman belajar dalam bidang
ekonomi atau
dalam bidang IPA.
Prinsip
urutan isi sebenarnya erat hubungannya dengan kontinuitas, perbedaannya
terletak pada
tingkat kesulitan dan keluasan bahasan. Artinya, setiap pengalaman belajar
yang
diberikan kepada siswa harus memperhatikan tingkat perkembangan siswa.
Pengalaman
belajar yang diberikan di kelas lima harus berbeda dengan pengalaman
belajar pada
tingkat selanjutnya.
E.
Mengembangkan Kegiatan Pembelajaran untuk Memberikan Pengalaman Belajar
Kegiatan
pembelajaran dirancang untuk memberikan pengalaman belajar yang
melibatkan
proses mental dan fisik melalui interaksi antarpeserta didik, peserta didik
dengan guru,
lingkungan, dan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian
kompetensi
dasar. Pengalaman belajar yang dimaksud dapat terwujud melalui
penggunaan
pendekatan pembelajaran yang bervariasi dan berpusat pada peserta didik.
Pengalaman
belajar memuat kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik.
Pengalaman
belajar itu dirancang atau dirumuskan sedemikian rupa sehingga peserta
didik tampil
sebagai subjek belajar. Pengalaman itu hendaklah memperlihatkan
keterlibatan
fisik dan mentalnya. Selain itu juga menggambarkan interaksi antarpeserta
didik, antara
peserta didik dengan pendidik, antara peseta didik dengan lingkungan, dan
antara
peserta didik dengan sumber belajar. Hal sangat penting dalam mengembangkan
kegiatan
pembelajaran adalah sebagai berikut:
1. kegiatan
pembelajaran disusun untuk memberikan bantuan kepada para pendidik,
khususnya
guru, agar dapat melaksanakan proses pembelajaran secara profesional;
2. kegiatan
pembelajaran memuat rangkaian kegiatan yang harus dilakukan oleh peserta
didik secara
berurutan untuk mencapai kompetensi dasar melalui pencapaian
indikator;
3. penentuan
urutan kegiatan pembelajaran harus sesuai dengan hierarki konsep materi
pembelajaran;
11
4. rumusan
pernyataan dalam kegiatan pembelajaran minimal mengandung dua unsur
penciri yang
mencerminkan pengelolaan pengalaman belajar peserta didik, yaitu
kegiatan
peserta didik dan materi pembelajaran
Rangkuman
Pengalaman
belajar adalah interaksi antara siswa dan kondisi eksternal di lingkungan
tempat ia
bereaksi. Dengan demikian, belajar pada hakikatnya adalah tindakan aktif siswa
sebagai
konsekuensi dari reaksinya terhadap kondisi interaksional yang ada pada
lingkungannya.
Aktivitas belajar akan tercipta jika siswa berada pada suatu lingkungan
yang
memungkinkannya untuk bereaksi dan melakukan tindakan‐tindakan serta
mendapatkan
pengalaman‐pengalaman. Partisipasi aktif dari
siswa inilah yang
mendukung
efisiensi dan efektifitas peranan belajar dalam pembinaan kompetensi siswa.
Pengalaman
belajar menunjuk kepada aktivitas siswa di dalam proses pembelajaran.
Pengalaman‐pengalaman belajar sangatlah
banyak dan beragam. Namun, tidak semua
pengalaman
belajar dapat digunakan untuk mencapai suatu tujuan. Karena itu,
pengalaman‐pengalaman belajar yang ada perlu
diseleksi berdasarkan jenis tujuan yang
ditentukan. Ada
beberapa prinsip umum yang diterapkan dalam penyeleksian
pengalaman
belajar. Pertama, siswa harus mempunyai pengalaman
yang memberikan
kesempatan
kepadanya untuk melatih diri dalam jenis perilaku yang dijelaskan dalam
tujuan. Kedua ialah bahwa pengalaman belajar
harus mampu mengkondisikan siswa
untuk
memperoleh kepuasan dari pelaksanaan perilaku yang dicantumkan dalam tujuan.
Ketiga ialah bahwa reaksi yang dinginkan
dalam pengalaman belajar berada dalam
kisaran
kemungkinan bagi siswa yang bersangkutan. Keempat ialah bahwa banyak
pengalaman
khusus yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang
sama. Kelima ialah bahwa pengalaman belajar
yang sama biasanya akan menghasilkan
beberapa
hasil.
Sanjaya
menguraikan tentang beberapa prinsip engembangan pengalaman belajar.
Pertama,
pengalaman siswa harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Setiap tujuan
akan
menentukan pengalaman belajar. Kedua, setiap pengalaman belajar harus
memuaskan
siswa. Ketiga, setiap rancangan pengalaman belajar sebaiknya melibatkan
siswa.
Keempat, mungkin dalam satu pengalaman belajar dapat mencapai tujuan yang
berbeda.
Terdapat
beberapa bentuk atau karakteristik pengalaman belajar yang dapat
dikembangkan,
misalnya pengalaman belajar untuk mengembangkan kemampuan
berpikir siswa,
pengalaman belajar untuk membantu siswa dalam mengumpulkan
sejumlah
informasi, pengalaman belajar untuk membantu mengembangan sikap sosial,
dan
pengalaman belajar untuk membantu mengembangkan minat.
Ada dua cara
pengorganisasian pengalaman belajar, yaitu pengorganisasian secara
vertikal dan
pengorganisasian secara horizontal. Pengorganisasian secara vertikal apabila
menghubungkan
pengalaman belajar dalam satu kajian yang sama dalam tingkat yang
berbeda.
Sedangkan pengorganisasian secara horizontal jika menghubungkan
pengalaman
belajar dalam bidang geografi dan sejarah dalam tingkat yang sama. Kedua
hubungan ini
sangat penting dalam proses mengorganisasikan pengalaman belajar.
Misalnya,
hubungan vertikal akan memungkinkan siswa memiliki pengalaman belajar
yang semakin
luas dalam kajian yang sama; sedangkan hubungan horizontal antara
pengalaman
belajar yang satu dan yang lain akan saling mengisi dan memberikan
penguatan.
12
Ada tiga
prinsip dalam mengorganisasikan pengalaman belajar, yaitu kontinuitas,
urutan isi,
dan integrasi. Prinsip kontinuitas ada yang bersifat vertikal dan horizontal.
Bersifat
vertikal artinya bahwa pengalaman belajar yang diberikan harus memiliki
kesinambungan
yang diperlukan untuk pengembangan pengalaman belajar selanjutnya.
Prinsip
kontinuitas yang bersifat horizontal artinya bahwa suatu pengalaman belajar
yang
diberikan
kepada siswa harus memiliki fungsi dan bermanfaat untuk memperoleh
pengalaman
belajar dalam bidang lain. Prinsip urutan isi sebenarnya erat hubungannya
dengan kontinuitas,
perbedaannya terletak pada tingkat kesulitan dan keluasan bahasan.
Pengalaman
belajar itu dirancang atau dirumuskan sedemikian rupa sehingga peserta
didik tampil
sebagai subjek belajar. Pengalaman itu hendaklah memperlihatkan
keterlibatan
fisik dan mentalnya. Selain itu juga menggambarkan interaksi antarpeserta
didik, antara
peserta didik dengan pendidik, antara peseta didik dengan lingkungan, dan
antara
peserta didik dengan sumber belajar.
Daftar Pustaka
Dewey, John. (1916), “Aims in
Education” dalam Democracy and Education. Tanpa penerbit.
Ditjen Dikdas
dan Dikmenum. (2006), Pedoman Memilih dan Menyusun Bahan Ajar.
Furchan,
Arief, dkk. (2005), Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan
Tinggi
Agama Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Haryati,
Mimin. (2007), Model dan Teknik Penilaian pada Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta:
Gaung Persada
Press.
Sanjaya,
Wina. (2009)., Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik
Pengembangan Kurikulum
Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP), Jakarta: Kencana Prenada.
Tyler, W.
Ralph. (2005) Paradigma
Kurikulum dan Pembelajaran Antisipatoris: Masyarakat Global,
disadur oleh H.M. Djunaidi Ghony
dari Basic Principles of Curriculum
and Instruction,
Malang: Kutub Monar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar