HAKEKAT KURIKULUM
Pemakalah :
M Hamim Sya’roni
Syuroto
A. Pengertian Kurikulum
Kata Kurikulum memiliki banyak
arti yang berbeda tergantung dari posisi seseorang
dalam sistim pendidikan. Sebagai
contoh, seorang pembuat kurikulum akan melihatnya
sebagai suatu
rencana untuk pengalaman kurikulum di sekolah (Yang ideal); seorang
guru akan
melihatnya sebagai pemerintah atau orang yang biasanya berada di luar ruang
kelas yang
mengatakan padanya untuk mengajar (mempraktekkan); seorang siswa akan
melihatnya
sebagai apa yang harus saya pelajari untuk lulus sekolah atau madrasah
(kenyataan)
dan orang tua melihatnya sebagai apa yang sebenarnya telah dipelajari oleh
anak saya di
sekolah (prestasi). Pihak lain mungkin akan melihatnya sebagai buku atau
materi untuk
guru dan siswa.
Banyak
pengertian kurikulum yang dapat ditemukan dalam literatur kependidikan
(educational publications) yang beberapa di antaranya
memiliki pandangan yang lebih
terfokus
dibanding yang lain. Pada dasarnya tak ada suatu definisi yang sangat rinci.
Istilah
kurikulum digunakan pertama kali pada dunia olahraga pada zaman Yunani
Kuno yang
berasal dari kata curir dan curere, yang artinya jarak yang harus ditempuh
oleh seorang
atlit. Pada waktu itu, orang mengistilahkannya dengan tempat berpacu atau
tempat
berlari dari mulai start sampai finish.(Wina (Sanjaya, 2009: 1) Istilah kurikulum
kemudian
digunakan dalam dunia pendidikan
Dalam dunia
pendidikan, para ahli memiliki pandangan yang beragam tentang
kurikulum.
Pengertian kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan praktik
dan teori
pendidikan. Dalam pandangan lama, kurikulum dipandang sebagai kumpulan
mata
pelajaran yang harus disampaikan oleh guru atau dipelajari oleh siswa.
(Sukmadinata,
2001: 4). Pelajaran‐pelajaran dan
materi apa yang harus ditempuh di
sekolah atau
madrasah, itulah kurikulum.
Kurikulum
dalam arti sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh murid,
menurut Oemar
Hamalik (1993: 18), mempunyai implikasi bahwa mata pelajaran pada
hakekatnya
adalah pengalaman masa lampau, dan tujuan mempelajarinya adalah untuk
memperoleh
ijazah. Pengertian kurikulum yang dianggap tradisional ini, Menurut S.
Nasution
(2008: 9), masih banyak dianut sampai sekarang termasuk juga di Indonesia,
bahkan masih
mewarnai kurikulum yang berlaku dewasa ini.
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak pada pergeseran fungsi
sekolah.
Seiring dengan perkembangan informasi dan teknologi sekolah tidak saja
dituntut
untuk membekalai berbagai macam ilmu pengetahuan yang sangat cepat
berkembang,
tetapi juga dituntut untuk dapat mengembangkan minat dan bakat,
membentuk
moral kepribadian, bahkan berbagai macam ketrampilan yang dibutuhkan
untuk
memenuhi dunia kerja. Pergeseran fungsi sekolah tersebut berdampak pada
pergeseran
makna kurikulum, di mana kurikulum tidak lagi dipandang sebagai mata
pelajaran,
akan tetapi dianggap sebagai pengalaman belajar siswa.
Sebagaimana dijelaskan oleh
William F. Pinar dalam bukunya What
is Curriculum
Theory , yang menjelaskan bahwa kurikulum pada saat ini adalah
dimaknai sebagai
pengalaman
belajar. Pergeseran makna ini disebabkan pengaruh humanisme, seni, dan
perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam
pandangan modern, pengertian kurikulum lebih dianggap sebagai suatu
pengalaman
atau sesuatu yang nyata terjadi dalam proses pendidikan, seperti
dikemukakan
oleh Caswel dan Campbell sebagai mana dikutip Wina Sanjaya (2009:6)
yang mengatakan bahwa kurikulum
adalah ”… all the experiences children have
under the
2
guidence of teacher. Dipertegas lagi oleh pemikiran Ronald C. Doll (1974)
yang
mengatakan bahwa : “ …the curriculum has changed from content of courses
study and list of
subject and courses to all
experiences which are offered to learners under the auspices or direction
of school.
Selain itu, kurikulum dalam
pandangan modern juga berarti pada methodology.
Misalnya, Hilda Taba dalam bukunya
Curriculum Development, menuliskan “Curriculum
is, after all, a way of preparing
young people to participate as productive members of our
culturer”. Artinya, kurikulum adalah cara mempersiapkan manusia
untuk berpartisipasi
sebagai anggota yang produktif
dari suatu budaya.
Pada tingkat
lain, kurikulum adalah praktik. Kurikulum merupakan hal yang sengaja
kita lakukan
di sekolah. Kurikulum merupakan kenyataan dari pertukaran antara guru
dan siswa,
para siswa dan siswa dengan materi belajar.
Sesuai
penjelasan David Pratt dalam Tim MEDP (2008: 15), yang menyatakan bahwa:
”A
curriculum is an organized set of formal educational and or training
intentions”. Artinya,
kurikulum
adalah seperangkat organisasi pendidikan formal atau pusat‐pusat latihan.
Selanjutnya
ia membuat implikasi secara lebih eksplisit tentang definisi yang
dikemukakannya
tersebut menjadi enam hal, yaitu:
1. Kurikulum
adalah suatu rencana atau intentions, ia mungkin hanya berupa
perencanaan
(mental) saja, tapi pada umumnya diwujudkan dalam bentuk tulisan;
2. Kurikulum
bukanlah kegiatan, melainkan perencanaan atau rancangan kegiatan;
3. Kurikulum
berisi berbagai macam hal seperti masalah apa yang harus dikembangkan
pada diri
siswa, evaluasi untuk menafsirkan hasil belajar, bahan dan peralatan yang
dipergunakan,
kualitas guru yang dituntut, dan sebagainya;
4. Kurikulum
melibatkan maksud atau pendidikan formal, maka ia sengaja
mempromosikan
belajar dan menolak sifat rambang, tanpa rencana, atau kegiatan
tanpa
belajar;
5. Sebagai
perangkat organisasi pendidikan, kurikulum menyatukan berbagai
komponen
seperti tujuan, isi, sistem penilaian dalam satu kesatuan yang tak
terpisahkan
atau dengan kata lain, kurikulum adalah suatu sistem;
6. Pendidikan
dan latihan dimaksudkan untuk menghindari kesalahpahaman yang
terjadi jika
suatu hal dilalaikan
Menjembatani
beragamnya pengertian kurikulum tersebut di atas S. Nasution
(2008:9)
menyatakan bahwa kurikulum dapat ditinjau sebagai berikut:
1. Kurikulum
dapat dilihat sebagai produk, yakni sebagai hasil karya para pengembang
kurikulum,
biasanya dalam suatu panitia. Hasilnya dituangkan dalam bentuk buku
atau pedoman
kurikulum, misalnya berisi sejumlah mata pelajaran yang harus
diajarkan.
2. Kurikulum
dapat pula dipandang sebagai program, yakni alat yang dilakukan oleh
sekolah atau
madrasah untuk mencapai tujuannya. Ini dapat berupa mengajarkan
berbagai mata
pelajaran tetapi dapat juga meliputi segala kegiatan yang dianggap
dapat
mempengaruhi perkembangan siswa misalnya perkumpulan sekolah atau
madrasah,
pertandingan, pramuka, warung sekolah atau madrasah dan lain‐lain.
3. Kurikulum
dapat pula dipandang sebagai hal‐hal yang diharapkan akan dipelajari
siswa, yakni
pengetahuan, sikap, keterampilan tertentu. Apa yang diharapkan akan
dipelajari
tidak selalu sama dengan apa yang benar‐benar dipelajari.
4. Kurikulum
sebagai pengalaman siswa. Ketiga pandangan di atas
berkenaan dengan
perencanaan
kurikulum sedangkan pandangan ini mengenai apa yang secara aktual
3
menjadi
kenyataan pada tiap siswa. Ada kemungkinan, bahwa apa yang diwujudkan
pada diri
anak berbeda dengan apa yang diharapkan menurut rencana.
Dari beberapa
definisi kurikulum yang telah disebutkan di atas bisa diambil
kesimpulan,
bahwa kurikulum merupakan pengalaman peserta didik baik di sekolah
atau madrasah
maupun di luar sekolah di bawah bimbingan sekolah. Kurikulum tidak
hanya
terbatas pada mata pelajaran, tetapi meliputi segala sesuatu yang dapat
mempengaruhi
perkembangan peserta didik, dan bisa menentukan arah atau
mengantisipasi
sesuatu yang akan terjadi. Dengan kata lain kurikulum haruslah
menunjukkan
kepada apa yang sebenarnya harus dipelajari oleh peserta didik
B. Fungsi
Kurikulum
Fungsi
kurikulum mempunyai arti sebagai berikut:
1. Sebagai
pedoman penyelenggaraan pendidikan pada suatu tingkatan lembaga
pendidikan
tertentu dan untuk memungkinkan pencapaian tujuan dari lembaga
pendidikan
tersebut.
2. Sebagai
batasan daripada program kegiatan (bahan pengajaran) yang akan dijalankan
pada suatu
semester, kelas, maupun pada tingkat pendidikan tersebut.
3. Sebagai
pedoman guru dalam menyelenggarakan Proses Belajar Mengajar, sehingga
kegiatan yang
dilakukan guru dengan murid terarah kepada tujuan yang ditentukan.
(Tim MEDP,
2008: 17).
Menurut
Sutopo dan Soemanto sebagaimana dikutip oleh Muhammad Joko Susilo
(2007:83‐84), kurikulum berfungsi:
1. Kurikulum
dalam rangka mencapai tujuan. Bila tujuan pendidikan yang diinginkan
tidak
tercapai orang cenderung meninjau kembali alat yang digunakan untuk
mencapai
tujuan tersebut.
2. Bagi siswa
kurikulum berfungsi sebagai organisasi belajar yang harus dikuasai dan
dikembangkan
seirama perkembangan siswa.
3. Bagi guru,
kurikulum berfungsi (a) sebagai pedoman kerja dalam menyusun dan
mengorganisir
pengalaman belajar siswa; (b) sebagai alat untuk mengadakan evaluasi
perkembangan
siswa; dan (c) sebagai pedoman dalam mengatur kegiatan pendidikan.
4. Bagi
kepala sekolah dan pembina sekolah, kurikulum berfungsi (a) sebagai pedoman
dalam
melaksanakan fungsi supervisi, yaitu memperbaiki situasi belajar; (b) sebagai
pedoman untuk
fungsi supervisi dalam menciptakan situasi untuk menunjang situasi
belajar; dan
(c) sebagai pedoman dalam fungsi supervisi untuk membantu guru dalam
memperbaiki
situasi belajar; dan (4) sebagai pedoman untuk mengadakan evaluasi
kemajuan
belajar mengajar.
5. Bagi orang
tua murid, kurikulum berfungsi sebagai panduan untuk membantu anak.
6. Bagi
sekolah pada tingkatan di atasnya, kurikulum berfungsi sebagai pemeliharaan
keseimbangan
proses pendidikan dan penyiapan tenaga guru.
7. Bqgi
masyarakat dan pemakai lulusan sekolah, kurikulum berfungsi dalam
memberikan
bantuan guru dalam memperlancar pelaksanaan program pendidikan
yang
membutuhkan kerja sama dengan pihak orang tua/masyarakat untuk
menyempurnakan
program pendidikan di sekolah agar bisa lebih serasi dengan
kebutuhan
masyarakat dan dunia kerja.
4
C. Komponen
Kurikulum
Dalam melihat
komponen kurikulum, orang bisa mengajukan beberapa pertanyaan
sebagaimana dikemukakan oleh Ralph
W. Tyler dalam
bukunya Basic Principle of
Curriculum and Instruction sebagaimana dikutip oleh Nasution (2008: 17), yaitu:
1. Tujuan apa yang harus dicapai
sekolah atau madrasah?
2. Bagaimana memilih bbahan
pelajaran untuk mencapai tujuan sekolah atau
madrasah?
3.
Bagaimanakah bahan disajikan agar efektif diajarkan?
4.
Bagaimanakah efektivitas belajar dapat dinilai?
Berdasarkan
uraian di atas, dapat diketahui bahwa suatu kurikulum terdiri dari atas
komponen‐komponen: 1. tujuan, 2. isi, 3.
metode atau proses belajar mengajar, dan 4.
evaluasi.
Setiap komponen kurikulum tersebut, sebenarnya saling berkaitan, bahkan
masing‐masing merupakan bagian integral
dari kurikulum tesebut. Saling keterkaitan
antar
komponen tersebut dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut:
Tanda panah
dua arah melambangkan interelasi antar komponen kurikulum. Gambar
tersebut
menunjukkan hubungan yang nampaknya mudah. Namun, namun sebenarnya
tidak mudah
dalam pelaksanaan pengembangan kurikulum, apalagi dalam mencapai
tujuan‐tujuan yang bersifat umum,
terutama dalam ranah afektif. Dalam pengembangan
kurikulum,
menyiapkan ranah afeksi, seperti perasaan,motivasi, dan sikap tidak
menentukannya
dan juga tidak mudah dalam menentukan proses belajar mengajarnya.
Sedangkan
untuk menentukan ranah kognitif, seperti pengetahuan dan informasi,
relatif mudah
dalam penerapan antar komponen‐komponen tersebut. Akan tetapi, jika
dihubungkan
dengan ketercapaian tujuan pendidikan nasional, persoalannya semakin
pelik dan
setiap komponen ternyata mengandung masalah yang kompleks, apalagi jika
dikaitkan
dengan komponen‐komponen
lainya.
Berkaitan
dengan empat komponen kurikulum di atas, perlu dikemukakan
pertanyaan‐pertanyaan berikut (Tim MEDP,
2008:17‐18):
Pertama, bagaimana pendapat Islam tentang
tujuan pendidikan? Pertanyaan ini
penting
dikemukakan karena Islam merupakan dasar bagi umat Islam dalam
mengislamkan
berbagai mata pelajaran
Kedua, Bagaimana pula pendapat Islam
tentang pengetahuan (knowledge), yang
dikenal mata
pelajaran? Adakah pengetahuan menurut falsafah Islam berbeda ataukah
sama saja
dengan pengetahuan dalam falsafah lainnya?
Ketiga, Adakah metodologi pendidikan
menurut pandangan Islam berbeda ataukah
sama saja
dengan metodologi dalam falsafah lainnya?
Keempat, Apakah penilaian menurut pandangan
Islam berbeda dengan pandangan
falsafah‐falsafah lain?
Tujuan
Penilaian
Bahan pelajaran
Prose
pembelajaran
5
Pertanyaan‐pertanyaan kritis yang
dikedepankan di atas berupaya untuk menggali
sejauh
manakah khasanah pemikiran pendidikan Islam kaitannya dengan problemaproblema
mendasar
dalam pendidikan.
D. Jenis‐Jenis Kurikulum
Terdapat
beberapa konsepsi tentang kurikulum. Paling tidak ada empat sudut
pandang
tentang kurikulum, yaitu kurikulum subyek akademik, kurikulum humanistik,
kurikulum
rekonstruksi sosial, dan kurikulum teknologis. Kurikulum subyek akademik
dirancang
berdasarkan pohon ilmu dan bagaimana mendalami bidang ilmu tersebut.
Daya serap
kurikulum maupun hasil belajar kemudian diukur dari seberapa banyak
siswa
menguasai bidang ilmu yang diterjemahkan pada bentuk pokok bahasan
matapelajaran.
Sasaran utama model kurikulum ini perkembangan kemampuan
intelektual.
Suatu pengetahuan dapat digunakan dalam konteks lain dari pada sekedar
yang
dipelajarinya, dapat merangsang ingatan apabila siswa diminta untuk
menghubungkannya
dengan masalah lain. Penekanan pada segi intelektual ini dianut
oleh hampir
seluruh proyek pengembangan kurikulum pada tahun 1960‐an di sekolahsekolah
negara bagian
Amerika Serikat. Pada tahun 1970‐an pendekatan struktur
pengetahuan
dalam pengembangan kurikulum ini mengalami kemunduran sebab para
ahli lebih
tertarik pada pemecahan masalah kemanusian.
Para ahli
humanistik memandang kurikulum berfungsi menyediakan pengalaman
berharga
untuk membantu mengembangkan potensi siswa. Kurikulum humanistik
menekankan
integrasi, yaitu kesatuan perilaku bukan saja yang bersifat intelektual,
tetapi juga
emosional dan tindakan. Kurikulum harus mampu memberikan pengalaman
yang
menyeluruh, bukan pengalaman yang terpenggal‐penggal. Dalam evaluasi,
kurikulum
humanistik lebih mengutamakan proses daripada hasil. Namun, model ini
tidak
memiliki kriteria. Yang terpenting, siswa dapat mengembangkan potensi‐potensi
yang
dimilikinya.
Berbeda
dengan dua model diatas, kurikulum rekonstruksi sosial lebih memusatkan
perhatian
pada problema‐problema yang
dihadapinya dalam masyarakat. Siswa dengan
pengetahuan
dan konsep‐konsep yang diperolehnya dapat
mengidentifikasi dan
memecahkan
masalah‐masalah sosial sehingga kurikulum
berfungsi sebagai wahana
mengembangkan
masyarakat. Hasil belajar diukur dari seberapa jauh konstruksi sikap
dan kemampuan
yang diinginkan telah terwujud dalam diri siswa. Pandangan
rekonstruksi
sosial dalam kurikulum dimulai sekitar tahun 1920‐an. Pengajaran
rekonstruksi
sosial banyak dilaksanakan di daerah‐daerah yang tergolong belum maju
dan tingkat
ekonominya juga belum tinggi. Pelaksanaan pengajaran diarahkan untuk
meningkatkan
kondisi kehidupan masyarakat. Di daerah pertanian sekolah
mengembangkan
bidang pertanian dan peternakan, dan di daerah industri
mengembangkan
bidang‐bidang industri.
Model
kurikulum teknologis mempersiapkan siswa mengikuti perkembangan
teknologi,
bahkan berperan serta dalam pengembangan teknologi. Aliran ini memiliki
kesamaan
dengan pendidikan klasik yang menekankan isi kurikulum, tetapi diarahkan
bukan pada
pemeliharaan dan pengawetan ilmu, tetapi pada penguasaan kompetensi.
Suatu
kompetensi yang besar diuraikan dalam kompetensi yang lebih khusus dan
akhirnya
menjadi perilaku‐perilaku yang
dapat diamati dan dapat diukur.
Kurikulum
Yang Disempurnakan (KYD) memiliki kedekatan dengan model
kurikulum
teknologis. Kurikulum Yang Disempurnakan (KYD) memiliki kedekatan
dengan model
kurikulum teknologis merupakan upaya pemerintah untuk mencapai
6
keunggulan
masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi. dan Kurikulum
Yang
Disempurnakan (KYD) memiliki kedekatan dengan model kurikulum teknologis
diharapkan
dapat dijadikan landasan dalam pengembangan dan peningkatan kualitas
pendidikan di
Indonesia dan Kurikulum Yang Disempurnakan (KYD) memiliki
kedekatan
dengan model kurikulum teknologis) menganut prinsip bahwa lulusan suatu
jenjang
pendidikan tertentu harus memiliki kompetensi tertentu. Kompetensi adalah
perpaduan
dari pengetahuan, ketrampilan, sikap, dan nilai yang direfleksikan dalam
bertindak dan
berpikir.
Kebiasaan
berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus dapat
memungkinkan
seseorang untuk menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan,
keterampilan,
dan nilai‐nilai dasar untuk melakukan
sesuatu. Dasar pemikiran untuk
menggunakan
konsep kompetensi dalam kurikulum adalah sebagai berikut.
1. Kompetensi
berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam
berbagai
konteks.
2. Kompetensi
menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi
kompeten.
3. Kompetensi
merupakan hasil belajar (learning outcomes) yang menjelaskan hal‐hal
yang
dilakukan siswa setelah melalui proses pembelajaran.
4. Kehandalan
kemampuan siswa melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas
dan luas
dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur.
Kurikulum
Yang Disempurnakan (KYD) memiliki kedekatan dengan model
kurikulum
teknologis merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang
kompetensi
dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar
mengajar, dan
pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan
kurikulum
sekolah.
Kurikulum
Yang Disempurnakan (KYD) memiliki kedekatan dengan model
kurikulum
teknologis berorientasi pada: (1) hasil dan dampak yang diharapkan muncul
pada diri
peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan (2)
keberagaman
yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya. Rumusan
kompetensi
dalam merupakan pernyataan apa yang diharapkan dapat diketahui, disikapi,
atau
dilakukan siswa dalam setiap tingkatan kelas dan sekolah dan sekaligus
menggambarkan
kemajuan siswa yang dicapai secara bertahap dan berkelanjutan untuk
menjadi
kompeten.
Kurikulum
Yang Disempurnakan (KYD) memiliki kedekatan dengan model
kurikulum
teknologis memiliki ciri‐ciri sebagai berikut: Menekankan pada ketercapaian
kompetensi
siswa baik secara individual maupun klasikal. Berorientasi pada hasil belajar
(learning outcomes) dan keberagaman. Penyampaian
dalam pembelajaran menggunakan
pendekatan
dan metode yang bervariasi. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga
sumber
belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif. Penilaian menekankan pada
proses dan
hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Sedangkan
menurut Nasution (2008:176‐226) bentuk dan organisasi kurikulum
adalah
sebagaimana berikut:
1. Separated subject curriculum (kurikulum mata pelajaran terpisah
atau tidak menyatu).
Kurikulum ini
dikatakan demikian karena data‐data pelajaran disajikan pada
peserta didik
dalam bentuk subjek atau mata pelajaran yang terpisah satu dengan
yang lainnya.
Kurikulum ini dengan tegas memisahkan antara satu mata pelajaran
dengan yang
lainnya, umpamanya mata pelajaran teori listrik tidak ada sangkut
pautnya
dengan pengetahuan alat perkakas atau yang lainnya. Satu dengan yang
7
lainnya
terpisah‐pisah secara tegas, demikian pula
dalam menyajikannya kepada
peserta
didik.
Kurikulum
jenis ini memiliki keunggulan sebagai berikut:
a. Bahan pelajaran dapat disajikan
secara logis, sistematis dan berkesinambungan.
Hal itu
disebabkan tiap bahan telah disusun dan diuraikan secara logis dan
sistematis
dengan mengikuti urutan yang tepat yaitu dari yang mudah ke yang
sukar, dari
yang sederhana ke yang kompleks.
b. Organisasi kurikulum bentuk ini
sangat sederhana, mudah direncanakan,
mudah
dilaksanakan dan mudah pula untuk diadakan perubahan jika
diperlukan.
Adanya kesederhanaan itu sangat diperlukan karena hal itu jelas
akan
menghemat tenaga sehingga menguntungkan baik dari pihak
pengembang
kurikulum itu sendiri maupun guru atau satuan pendidikan untuk
melaksanakannya.
c. Kurikulum ini mudah dinilai untuk
mendapatkan data‐data yang
diperlukan
untuk
dilakukan perubahan seperlunya. Karena kurikulum ini terutama
bertujuan
untuk menyampaikan sejumlah pengetahuan maka hal itu dapat
dengan mudah
diketahui hasilnya yaitu dengan melakukan pengukuran yang
berupa tes.
Jika telah dirasa terdapat hal‐hal yang tidak lagi sesuai dengan
tuntutan
zaman dan kebutuhan masyarakat baik hal itu menyangkut seluruh
komponen
maupun sebagian saja hal itupun akan dengan mudah diadakan
perubahan
penyesuaian seperti yang diharapkan.
d. Memudahkan guru sebagai pelaksana
kurikulum karena disamping bahan
pelajaran
memang sudah disusun secara terurai dan sistematis, mereka
umumnya juga
dididik dan dipersiapkan untuk melaksanakan kurikulum yang
bersifat
demikian. Guru hanya mengajar bahan‐bahan pelajaran tertentu sesuai
dengan bidang
studinya dari waktu ke waktu. Guru yang memegang mata
pelajaran
yang sama secara terus menerus biasanya akan semakin menguasasi
bahan
pelajaran itu dan semakin banyak pula pengalamannya.
Disamping ada
keunggulan‐keunggulan kurikulum bentuk ini,
ada pula kelemahankelemahannya,
antara lain:
a. Kurikulum bentuk ini memberikan
mata pelajaran secara terpisah, satu dengan
yang lain
tidak ada saling hubungan. Hal itu memungkinkan terjadinya
pemerolehan
pengalaman secara lepas‐lepas tidak
sesuai dengan kenyataan.
b. Kurikulum bentuk ini kurang
memperhatikan masalah‐masalah yang
dihadapi
anak secara
faktual dalam kehidupan mereka sehari‐hari. Kurikulum ini hanya
sering
mengutamakan penyampaian sejumlah pengetahuan yang kadangkadang
tidak ada
relevansinya dengan kebutuhan kehidupan.
c. Cenderung statis dan ketinggalan
zaman. Buku‐buku pelajaran yang dijadikan
pegangan jika
penyusunannya dilakukan beberapa atau bahkan puluhan tahun
yang lalu dan
jika tidak dilakukan revisi untuk keperluan penyesuaian akan
ketinggalan
zaman.
d. Tujuan kurikulum bentuk ini sangat
terbatas karena hanya menekankan pada
perkembangan
intelektual dan kurang memperhatikan faktor‐faktor yang lain
seperti
perkembangan emosional dan sosial.
8
2. Correlated curriculum (kurikulum korelatif atau
pelajaran saling berhubungan).
Mata
pelajaran dalam kurikulum ini harus dihubungkan dan disusun sedemikian
rupa sehingga
yang satu memperkuat yang lain, yang satu melengkapi yang lain.
Jadi di sini
mata pelajaran itu dihubungkan antara satu dengan yang lainnya
sehingga
tidak berdiri sendiri‐sendiri.
Untuk memadukan antara pelajaran yang
satu dengan
yang lainnya, ditempuh dengan cara‐cara korelasi antara lain:
a. Korelasi okasional atau
insidental, yaitu korelasi yang diadakan sewaktu‐waktu
bila ada
hubungannya.
b. Korelasi etis, yaitu yang bertujuan
mendidik budi pekerti sebagai pusat
pelajaran
diambil pendidikan agama atau budi pekerti.
c. Korelasi sistematis, yaitu yang
mana korelasi ini disusun oleh guru sendiri.
d. Korelasi informal, yang mana
kurikulum ini dapat berjalan dengan cara antara
beberapa guru
saling bekerja sama, saling meminta untuk mengkorelasikan
antara mata
pelajaran yang dipegang guru A dengan mata pelajaran yang
dipegang oleh
guru B.
e. Korelasi formal, yaitu kurikulum
ini sebenarnya telah direncanakan oleh guru
atau tim secara
bersama‐sama.
f. Korelasi meluas (broad field), di mana korelasi ini sebenarnya
merupakan fungsi
dari beberapa
bidang studi yang memiliki ciri khas yang sama dipadukan
menjadi satu
bidang studi.
Organisasi
kurikulum yang disusun dalam bentuk correlated ini memiliki beberapa
keunggulan,
antara lain:
a. Adanya korelasi antara berbagai
mata pelajaran dapat menopang kebulatan
pengalaman
dan pengetahuan peserta didik berhubung mereka menerimanya
tidak secara
terpisah‐pisah.
b. Adanya korelasi antara berbagai
mata pelajaran memungkinkan peserta didik
untuk
menerapkan pengetahuan dan pengalamannya secara fungsional. Hal itu
disebabkan
mereka dapat memanfaatkan pengetahuan dari berbagai mata
pelajaran
untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya.
Adapun
kurikulum correlated
curriculum memiliki
kelemahan‐kelemahan antara lain:
a. Kurikulum bentuk ini pada
hakekatnya masih bersifat subject centered dan
belum memilih
bahan yang langsung dengan minat dan kebutuhan peserta
didik serta
masalah‐masalah kehidupan sehari‐hari.
b. Penggabungan beberapa mata pelajaran
menjadi satu kesatuan dengan lingkup
yang lebih
luas tidak memberikan pengetahuan yang sistematis dan mendalam.
Pembicaraan
tentang berbagai pokok masalah bagaimanapun juga tetap tidak
padu, karena
pada dasarnya masing‐masing
merupakan subject yang berbeda.
Rasanya
hampir tak mungkin mempergunakan waktu yang hanya sedikit itu
untuk
memberikan berbagai pokok masalah yang sebenarnya berasal dari
beberapa mata
pelajaran yang berbeda.
3. Integrated curriculum (kurikulum terpadu).
Integrated
curriculum di sini
sebenarnya beberapa mata pelajaran dijadikan satu atau
dipadukan.
Dengan meniadakan batas‐batas mata
pelajaran dan bahan pelajaran
yang
disajikan berupa unit atau keseluruhan. Unit merupakan satu kesatuan yang
bulat
daripada bagian‐bagian yang
tidak terpisah satu sama lain, melainkan
9
merupakan
rangkaian daripada bagian yang bersatu padu dengan serasi.
Kurikulum ini
memiliki beberapa keunggulan antara lain:
a. Segala hal yang dipelajari dalam
kurikulum unit bertalian erat satu dengan
yang lain.
Peserta didik tidak hanya mempelajari fakta‐fakta yang lepas‐lepas
dan kurang
fungsional untuk memecahkan persoalan yang dihadapi.
b. Kurikulum ini sesuai dengan teori
baru tentang belajar yang mendasarkan
berbagai
kegiatan pada pengalaman, kesanggupan, kematangan dan minat
peserta
didik. Anak dilibatkan secara aktif untuk berpikir dan berbuat serta
bertanggung
jawab baik secara individual maupun kelompok.
c. Dengan kurikulum ini lebih
dimungkinkan adanya hubungan yang erat antara
madrasah dan
masyarakat, karena masyarakat dapat dijadikan laboratorium
tempat
peserta didik melakukan kegiatan praktek.
Disamping
bentuk kurikulum ini memiliki keunggulan tetapi juga mengandung
beberapa
kelemahan yang antara lain:
a. Kurikulum ini tidak mempuyai
organisasi yang logis dan sistematis, karena
bahan
pelajaran tidak ditentukan lebih dulu oleh guru atau lembaga melainkan
harus
dirancang bersama‐sama dengan
murid.
b. Para guru tidak dipersiapkan untuk
menjalankan kurikulum bentuk unit, maka
jika mereka
disuruh melaksanakan kurikulum itu kiranya sangat memberatkan.
Para guru
pada umumnya dihasilkan dan dipersiapkan untuk menjalankan
kurikulum yang bersifat subject matter atau
correlated saja.
c. Pelaksanaan kurikulum bentuk ini
juga amat repot. Hal itu disebabkan karena
masih
kurangnya berbagai peralatan dan sarana serta prasarana yang
dibutuhkan
agar berbeda dengan sekolah‐sekolah biasa.
d. Dengan kurikulum bentuk unit ini
tidak dapat dimungkinkan adanya ujian
umum karena
permasalahan yang dihadapi di tiap madrasah tidak sama dan
selalu
berubah tiap tahun. Di samping itu sulit mengukur kemampuan peserta
didik
berhubung standarnya sendiri cukup abstrak dan tidak ajeg .
Pendidikan
pada dasarnya merupakan interaksi antara pendidik dengan peserta
didik dalam
rangka membantu peserta didik dalam menguasai materi pengajaran dan
mencapai
tujuan‐tujuan pendidikan. Interaksi
pendidikan tersebut dapat berlangsung
dalam
lingkungan keluarga, madrasah, dan masyarakat. Dengan demikian, setiap
pendidikan
diarahkan pada pencapaian tujuan‐tujuan tertentu, seperti penguasaan ilmu
pengetahuan,
pengembangan pribadi, komunikasi sosial, dan kemampuan kerja.
Pendidikan
memiliki makna strategis dan merupakan saluran penting yang dapat
mengungkap
gagasan dan nilai‐nilai baru
sekaligus memiliki dampak yang cukup besar
bagi
kehidupan masyarakat. Untuk mencapai tujuan pendidikan dan mengembangkan
kemampuan‐kemampuan dasar peserta didik,
maka diperlukan kurikulum, metode
penyampaian,
media dan sumber belajar, serta alat evaluasi yang tepat.
Rangkuman
Kata
Kurikulum memiliki banyak arti yang berbeda tergantung dari posisi dan sudut
padang dalam
sistim pendidikan, seperti melihat kurikulum sebagai produk, proses,
seperangkat
kemampuan yang harus dikuasai siswa, atau sebagai pengalaman siswa.
Perbedaan
cara pandang terhadap kurikulum menyebabkan berbagai pengertian
10
kurikulum
yang dapat ditemukan dalam literatur kependidikan (educational publications)
sebagai
berikut:
1. Kurikulum
adalah suatu rencana atau intentions, ia mungkin hanya berupa
perencanaan
(mental) saja, tapi pada umumnya diwujudkan dalam bentuk tulisan;
2. Kurikulum
bukanlah kegiatan, melainkan perencanaan atau rancangan kegiatan;
3. Kurikulum
berisi berbagai macam hal seperti masalah apa yang harus
dikembangkan
pada diri siswa, evaluasi untuk menafsirkan hasil belajar, bahan dan
peralatan
yang dipergunakan, kualitas guru yang dituntut, dan sebagainya;
4. Kurikulum
melibatkan maksud atau pendidikan formal, maka ia sengaja
mempromosikan
belajar dan menolak sifat rambang, tanpa rencana, atau kegiatan
tanpa
belajar;
5. Sebagai
perangkat organisasi pendidikan, kurikulum menyatukan berbagai
komponen
seperti tujuan, isi, sistem penilaian dalam satu kesatuan yang tak
terpisahkan
atau dengan kata lain, kurikulum adalah suatu sistem;
6. Pendidikan
dan latihan dimaksudkan untuk menghindari kesalahpahaman yang
terjadi jika
suatu hal dilalaikan.
Kurikulum
memiliki fungsi yang berarti dalam pendidikan, yaitu dalam rangka
mencapai
tujuan; sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan; dan sebagai batasan
dari pada
program kegiatan (bahan pengajaran) yang akan dijalankan pada suatu
semester,
kelas, maupun pada tingkat pendidikan tersebut. Bagi siswa kurikulum
berfungsi
sebagai organisasi belajar yang harus dikuasai dan dikembangkan seirama
perkembangan
siswa. Bagi guru, kurikulum berfungsi (a) sebagai pedoman kerja dalam
menyusun dan
mengorganisir pengalaman belajar siswa; (b) sebagai alat untuk
mengadakan
evaluasi perkembangan siswa; dan (c) sebagai pedoman dalam mengatur
kegiatan
pendidikan. Bagi kepala sekolah dan pembina sekolah, kurikulum berfungsi (a)
sebagai
pedoman dalam melaksanakan fungsi supervisi, yaitu memperbaiki situasi
belajar; (b)
sebagai pedoman untuk fungsi supervisi dalam menciptakan situasi untuk
menunjang
situasi belajar; dan (c) sebagai pedoman dalam fungsi supervisi untuk
membantu guru
dalam memperbaiki situasi belajar; dan (4) sebagai pedoman untuk
mengadakan
evaluasi kemajuan belajar mengajar. Bagi orang tua murid, kurikulum
berfungsi
sebagai panduan untuk membantu anak. Bagi sekolah pada tingkatan di
atasnya,
kurikulum berfungsi sebagai pemeliharaan keseimbangan proses pendidikan
dan penyiapan
tenaga guru.
Komponen
kurikulum pada dasarnya ada empat, yaitu tujuan, isi, proses belajar
mengajar, dan
penilaian. Sedangkan jenis kurikulum, dilihat dari desainnya, terdiri dari
empat macam,
yaitu kurikulum subyek akademik, kurikulum humanistik, kurikulum
rekonstruksi
sosial, dan kurikulum teknologis. Dilihat dari bentuk dan organisasinya ada
tiga jenis
kurikulum, yaitu:
1. Separated subject curriculum (kurikulum mata pelajaran terpisah
atau tidak menyatu).
2. Correlated curriculum (kurikulum korelatif atau
pelajaran saling berhubungan).
3. Integrated curriculum (kurikulum terpadu).
Daftar Pustaka
Mulyasa, E.
(2002), Kurikulum
Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasinya,
Bandung:
Remaja Rosdakarya.
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐. (2004), Implementasi Kurikulum 2004:
Panduan Pembelajaran KBK, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
11
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐. (2006), Kurikulum yang Disempurnakan:
Pengembangan Standar Kompetensi dan
Kompetensi
Dasar, Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Nasution, S.
(2008), Asas‐Asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara.
Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.
Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Isi.
Sanjaya,
Wina. (2009)., Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik
Pengembangan Kurikulum
Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP), Jakarta: Kencana Prenada.
Sukmadinata,
Nana Syaodih. (2001), Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik, Bandung:
Rosdakarya.
Susilo, Muhammad Joko. (2007)., Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Manajemen
Pelaksanaan
dan Kesiapan
Sekolah Menyongsongnya, Jakarta: Pustaka Pelajar.
Tim MEDP.
(2008)., Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam.
Wijaya, E.
Juhana dan Tabrani Rusyan, 2003. Konsep dan Strategi Pelaksanaan Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Jakarta:
Intimedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar