Pemakalah :
M Sholihin
Sugihanto
A. Pengertian
Model Pengembangan Kurikulum
Menurut Good
dan Travers dalam Sanjaya (2009:82) model adalah abstraksi dunia
nyata atau
representasi peristiwa kompleks atau sistem, dalam bentuk naratif, matematis,
grafis, serta
lambang‐lambang lainnya. Model bukanlah
realitas, akan tetapi merupakan
representasi
realitas yang dikembangkan dari keadaan. Model pada dasarnya berkaitan
dengan
rancangan yang dapat digunakan untuk menterjemahkan sesuatu kedalam
realitas,
yang sifatnya lebih praktis. Dengan demikian, model pengembangan kurikulum
adalah
rancangan pengembangan kurikulum yang dapat dilaksanakan dan diterjemahkan
ke dalam
pembelajaran.
Selanjutnya,
ia menjelaskan manfaat model adalah sebagai berikut:
1. Model
dapat menjelaskan beberapa aspek perilaku dan interaksi manusia.
2. Model
dapat mengintegrasikan seluruh pengetahuan hasil observasi dan penelitian.
3. Model
dapat menyederhanakan suatu proses yang bersifat kompleks.
4. Model
dapat digunakan sebagai pedoman untuk melakukan kegiatan.
Di samping
itu, model berfungsi sebagai sarana untuk mempermudah berkomunikasi,
atau sebagai
petunjuk yang bersifat perspektif untuk mengambil keputusan, atau sebagai
petunjuk
perencanaan untuk kegiatan pengelolaan. Nadler, sebagaimana dikutip Sanjaya,
menjelaskan
bahwa model yang baik adalah model yang dapat menolong si pengguna
untuk
mengerti dan memahami suatu proses secara mendasar dan menyeluruh.
Dalam
pengembangan kurikulum, ada beberapa model yang dapat digunakan. Setiap
model
memiliki kekhasan tertentu baik dilihat dari keluasan pengembangan kurikulumnya
itu sendiri
maupun dilihat dari tahapan pengembangannya sesuai dengan
pendekatannya.
Menurut Sukmadinata (2001:161) sekurang‐kurangnya dikenal model
pengembangan kurikulum, seperti the administrative (line staff)
model, the grass
roots model,
Bouchamp`s system,
the demonstration model, Taba`a inverted
model, Roger`s interpersonal
relations model, the
systematic action research model dan
emerging technical system. Sedangkan
Sanjaya
(2009:82‐97) menjelaskan model pengembangan
kurikulum sebagai berikut:
B. Model
Pengembangan Kurikulum
1. Model Tyler
Pengembangan
kurikulum model Tyler ini lebih bersifat bagaimana merancang suatu
kurikulum,
sesuai dengan tujuan dan misi suatu institusi pendidikan. Dengan demikian,
model ini
tidak menguraikan pengembangan dalam bentuk langkah‐langkah konkrit
atau tahapan‐tahapan secara rinci. Tyler hanya
memberikan dasar‐dasar
pengembangannya
saja. Proses pengembangan kurikulum model Tyler digambarkan
pada gambar berikut.
Objectives
Selecting learning
experiences
Organizing learning
experiences
Evaluation
What educational purposes should
the school seek to
attain?
What educational experiences can
be provided that are
likely to attain purpose?
How can educational experiences be
effectively
organized?
How can we determine whether these
purposess are
being
attained?
Model
Pengembangan Kurikulum Tyler
2
Menurut
Tyler, ada empat hal yang dianggap fundamental untuk mengembangkan
kurikulum.
Pertama, berhubungan dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Kedua,
berhubungan
dengan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan. Ketiga,
pengorganisasian
pengalaman belajar. Keempat, berhubungan dengan evaluasi.
a. Menentukan
Tujuan
Dalam
penyusunan suatu kurikulum, merumuskan tujuan merupakan langkah
pertama dan
utama yang harus dikerjakan. Sebab, tujuan merupakan arah atau
sasaran
pendidikan. Hendak dibawa ke mana anak didik? Kemampuan apa yang
harus
dimiliki anak didik setelah mengikuti program pendidikan? Semuanya
bermuara
kepada tujuan.
Tyler memang
tidak menjelaskan secara detail tentang sumber tujuan. “Similarly,
some writers have argued that Tyler does’t adequately
explain the source of objectives”
(Skilbeck,
1976; Kliebard, 1970). Namun demikian, Tyler menjelaskan bahwa sumber
perumusan
tujuan dapat berasal dari siswa, studi kehidupan masa kini, disiplin ilmu,
filosofis,
dan psikologi belajar.
Merumuskan
tujuan kurikulum sebenarnya sangat tergantung pada teori dan filsafat
serta model
kurikulum yang dianut. Jika pengembangan kurikulum bersifat subjek
akademis,
penguasaan berbagai konsep dan teori seperti yang tergambar dalam
disiplin ilmu
merupakan sumber utama tujuan. Kurikulum yang demikian yang
kemudian
dinamakan sebagai kurikulum yang bersifat “dicipline oriented”. Berbeda
dengan
pengembangan kurikulum model humanistik yang bersifat “child centered”,
di mana
pengembangan kurikulum lebih berpusat pada pengembangan pribadi
siswa, maka
yang menjadi sumber utama dalam perumusan tujuan tentu saja siswa
itu sendiri,
baik yang berhubungan dengan pengembangan minat dan bakat serta
kebutuhan
untuk membekali hidupnya. Lain lagi dengan kurikulum rekonstruksi
sosial.
Kurikulum yang lebih bersifat “society oriented” ini memposisikan kurikulum
sekolah
sebagai alat untuk memperbaiki kehidupan masyarakat, maka kebutuhan
dan masalah‐masalah sosial kemasyarakatan
merupakan sumber tujuan utama
kurikulum.
Walaupun
secara teoretis tampak begitu tajam pertentangan antara kurikulum yang
bersumber
dari disiplin akademik, kurikulum yang bersumber dari kebutuhan
pribadi dan
kebutuhan masyarakat, akan tetapi dalam praktiknya tidak setajam apa
yang ada
dalam teori. Anak adalah organisme yang unik yang memiliki berbagai
perbedaan. Ia
juga adalah makhluk sosial yang berasal dan akan kembali kepada
masyarakat,
oleh karena itulah tujuan kurikulum apa pun bentuk dan modelnya
pada dasarnya
harus mempertimbangkan berbagai sumber untuk kepentingan
individu dan
kepentingan masyarakat.
b. Menentukan
Pengalaman Belajar
Langkah kedua
dalam proses pengembangan kurikulum adalah menentukan
pengalaman
belajar (learning
experiences) sesuai
dengan yang telah ditentukan.
Pengalaman
belajar adalah segala aktivitas siswa dalam berinteraksi dengan
lingkungan.
Pengalaman belajar bukanlah isi atau materi pelajaran dan bukan pula
aktivitas
guru memberikan pelajaran. Tyler (1990:4) mengemukakan: “The term
“learning experiences” is not the
same as the content with which a course deals nor activities
performed by the teacher. The
term “learning experiences” refers to the interaction between
3
the learner and the external conditions
in the environment to which he can react. Learning
takes place through the active
behavior of the student; it is what he does that he learns not
what the teacher does”.
Pengalaman belajar menunjuk kepada
aktivitas siswa di dalam proses pembelajaran.
Dengan demikian, yang harus
dipertanyakan dalam pengalaman ini adalah “apa
yang akan atau telah dikerjakan
siswa” bukan “apa yang akan atau telah diperbuat
guru”. Untuk itulah, guru sebagai
pengembang kurikulum mestinya memahami
minat siswa,
serta bagaimana latar belakangnya. Pemahaman tersebut akan
memudahkan
guru dalam mendesain lingkungan yang dapat mengaktifkan siswa
memperoleh
pengalaman belajar.
Ada beberapa
prinsip dalam menentukan pengalaman belajar siswa. Pertama,
pengalaman
siswa harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Setiap tujuan akan
menentukan
pengalaman belajar. Kedua, setiap pengalaman belajar harus
memuaskan
siswa. Ketiga, setiap rancangan pengalaman belajar sebaiknya melibatkan
siswa.
Keempat, mungkin dalam satu pengalaman belajar dapat mencapai
tujuan yang
berbeda.
Terdapat
beberapa bentuk pengalaman belajar yang dapat dikembangkan, misalnya
pengalaman
belajar untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa, pengalaman
belajar untuk
membantu siswa dalam mengumpulkan sejumlah informasi,
pengalaman
belajar untuk membantu mengembangan sikap sosial, dan pengalaman
belajar untuk
membantu mengembangkan minat.
c.
Mengorganisasi Pengalaman Belajar
Mengorganisasikan
pengalaman belajar baik dalam bentuk unit mata pelajaran
maupun dalam
bentuk program sangatlah penting, sebab pengorganisasian yang
jelas akan
memberikan arah bagi pelaksanaan proses pembelajaran sehingga menjadi
pengalaman
belajar yang nyata bagi siswa.
Ada dua
pengorganisasian pengalaman belajar, yaitu pengorganisasian secara
vertikal dan
pengorganisasian secara horizontal. Pengorganisasian secara vertikal
apabila
menghubungkan pengalaman belajar dalam satu kajian yang sama dalam
tingkat yang
berbeda. Misalnya, pengorganisasian pengalaman belajar yang
menghubungkan
antara bidang geografi di kelas lima dan geagrafi di kelas enam.
Sedangkan
pengorganisasian secara horizontal jika kita menghubungkan
pengalaman
belajar dalam bidang geografi dan sejarah dalam tingkat yang sama.
Kedua
hubungan ini sangat penting dalam proses mengorganisasikan pengalaman
belajar.
Misalnya, hubungan vertikal akan memungkinkan siswa memiliki
pengalaman
belajar yang semakin luas dalam kajian yang sama; sedangkan
hubungan
horizontal antara pengalaman belajar yang satu dan yang lain akan saling
mengisi dan
memberikan penguatan.
Ada tiga
prinsip menurut Tyler dalam mengorganisasikan pengalaman belajar, yaitu
kontinuitas,
urutan isi, dan integrasi. Prinsip kontinuitas ada yang bersifat vertikal
dan
horizontal. Bersifat vertikal artinya bahwa pengalaman belajar yang diberikan
harus
memiliki kesinambungan yang diperlukan untuk pengembangan pengalaman
belajar
selanjutnya. Contohnya, apabila anak diberikan pengalaman belajar tentang
pengembangan
kemampuan membaca bahan‐bahan
pelajaran studi sosial maka
harus
diyakini bahwa pengalaman belajar tersebut akan dibutuhkan untuk
4
mengembangkan
keterampilan berikutnya, seperti keterampilan memecahkan
masalah‐masalah sosial.
Prinsip
kontinuitas yang bersifat horizontal artinya bahwa suatu pengalaman belajar
yang
diberikan kepada siswa harus memiliki fungsi dan bermanfaat untuk
memperoleh
pengalaman belajar dalam bidang lain. Contohnya, pengalaman belajar
dalam bidang
aritmatika harus dapat membantu untuk memperoleh pengalaman
belajar dalam
bidang ekonomi atau dalam bidang IPA.
Prinsip
urutan isi sebenarnya erat hubungannya dengan kontinuitas, perbedaannya
terletak pada
tingkat kesulitan dan keluasan bahasan. Artinya, setiap pengalaman
belajar yang
diberikan kepada siswa harus memperhatikan tingkat perkembangan
siswa.
Pengalaman belajar yang diberikan di kelas lima harus berbeda dengan
pengalaman
belajar pada tingkat selanjutnya.
d. Evaluasi
Proses
evaluasi merupakan langkah yang sangat penting untuk mendapatkan
informasi
tentang ketercapaian tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi memegang
peranan yang
cukup penting, sebab dengan evaluasi dapat ditentukan apakah
kurikulum
yang digunakan sudah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh
sekolah atau
belum. Ada dua aspek yang perlu diperhatikan sehubungan dengan
evaluasi.
Pertama, evaluasi harus menilai apakah telah terjadi perubahan tingkah
laku siswa
sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah dirumuskan. Kedua, evaluasi
sebaiknya
menggunakan lebih dari satu alat penilaian dalam suatu waktu tertentu.
Dengan
demikian, penilaian suatu program tidak mungkin hanya dapat
mengandalkan
hasil tes siswa setelah akhir proses pembelajaran. Penilaian mestinya
membandingkan
antara penilaian awal sebelum siswa melakukan suatu program
dengan
setelah melakukan program tersebut. Dari perbandingan itulah akan tampak
ada atau
tidak adanya perubahan tingkah laku yang diharapkan sesuai dengan
tujuan
pendidikan.
Ada dua
fungsi evaluasi. Pertama, evaluasi digunakan untuk memperoleh data
tentang
ketercapaian tujuan oleh peserta didik. Dengan kata lain, bagaimana tingkat
pencapaian
tujuan atau tingkat penguasaan isi kurikulum oleh setiap siswa. Fungsi
ini dinamakan
sebagai fungsi sumatif. Kedua, evaluasi digunakan untuk melihat
efektifitas
proses pembelajaran. Dengan kata lain, apakah program yang disusun
telah
dianggap sempurna atau perlu perbaikan. Fungsi ini dinamakan fungsi
formatif.
2. Model Taba
Pengembangan
kurikulum model Taba lebih menitikberatkan pada bagaimana
mengembangkan
kurikulum sebagai suatu proses perbaikan dan penyempurnaan. Oleh
karena itu,
dalam model Taba dikembangkan tahapan‐tahapan yang harus dilakukan
oleh
pengembang kurikulum.
Meskipun
pengembangan kurikulum biasanya dilakukan secara deduktif, dimulai
dari langkah
penentuan prinsip‐prinsip dan
kebijakan dasar, merumuskan desain
kurikulum,
menyusun unit‐unit
kurikulum, dan mengimplementasikan kurikulum di
dalam kelas,
namun Hilda Taba tidak sependapat dengan langkah tersebut. Menurutnya,
pengembangan
kurikulum secara deduktif tidak dapat menciptakan pembaruan
5
kurikulum.
Oleh karena itu, menurut Taba, sebaiknya kurikulum dikembangkan secara
terbalik,
yaitu dengan pendekatan induktif.
Ada lima
langkah pengembangan kurikulum model terbalik dari Taba.
a.
Menghasilkan unit‐unit
percobaan (pilot unit) melalui langkah‐langkah sebagai
berikut:
1) Mendiagnosis kebutuhan. Pada langkah ini, pengembangan
kurikulum dimulai
dengan
menentukan kebutuhan‐kebutuhan
siswa melalui diagnosis tentang
“gaps”,
berbagai kekurangan, dan perbedaan latar belakang siswa.
2) Memformulasikan tujuan. Setelah kebutuhan‐kebutuhan siswa didiagnosis, para
pengemabang
kurikulum selanjutnya merumuskan tujuan.
3) Memilih isi. Pemilihan isi bukan saja
didasarkan pada tujuan yang ingin dicapai,
melainkan
juga harus mempertimbangkan segi validitas dan kebermaknaannya
untuk siswa.
4) Mengorganisasi isi. Melalui penyeleksian isi,
selanjutnya isi kurikulum yang telah
ditentukan
disusun urutannya, sehingga tampak pada tingkat atau kelas berapa
sebaiknya isi
kurikulum itu diberikan.
5) Memilih pengalaman belajar. Pada tahap ini, ditentukan
pengalaman‐pengalaman
belajar yang
harus dimiliki siswa untuk mencapai tujuan kurikulum.
6) Mengorganisasi pengalaman belajar. Guru selanjutnya menentukan
bagaimana
mengemas
pengalaman‐pengalaman belajar yang telah
ditentukan itu ke dalam
paket‐paket kegiatan. Sebaiknya dalam
menentukan paket‐paket
kegiatan itu,
siswa diajak
serta, agar mereka memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan
kegiatan
belajar.
7) Menentukan alat evaluasi serta
prosedur yang harus dilakukan siswa. Pada penentuan
alat evaluasi
ini guru dapat menyeleksi berbagai teknik yang dapat dilakukan
untuk menilai
prestasi siswa, apakah siswa sudah dapat mencapai tujuan atau
belum.
8) Menguji keseimbangan isi
kurikulum. Pengujian
ini perlu dilakukan untuk melihat
kesesuaian
anatara isi, pengalaman belajar, dan tipe‐tipe belajar siswa.
b. Menguji
coba unit eksperimen untuk memperoleh data dalam rangka menemukan
validitas dan
kelayakan penggunaannya.
c. Merevisi
dan mengkonsolidasikan unit‐unit eksperimen berdasarkan data yang
diperoleh
dalam uji coba.
d.
Mengembangkan keseluruhan kerangka kurikulum.
e.
Implementasi dan diseminasi kurikulum yang telah teruji. Pada tahap terakhir
ini,
perlu
dipersiapkan guru‐guru melalui
penataran‐penataran, lokakarya dan lain
sebagainya
serta mempersiapkan fasilitas dan alat‐alat sesuai dengan tuntutan
kurikulum.
3. Model Oliva
Model
kurikulum Oliva bersifat simpel, komprehensif, dan sistematik, yang
digambarkan
seperti pada gambar berikut:
Rumusan
filsafat
Rumusan
tujuan
umum
Rumusan
tujuan
khusus
Desain
Perencanaan
Implementasi
Evaluasi
Model Oliva
6
Komponen‐komponen seperti yang tampak pada
gambar di atas, menurut Oliva,
adalah
komponen pokok, sebab dalam kenyataannya dalam mengembangkan suatu
kurikulum ada
12 komponen yang satu sama lin saling berkaitan, seperti yang terlihat
pada gambar
berikut.
Dari bagan di
atas, tampak bahwa model pengembangan kurikulum yang
dikemukakan
oleh Oliva terdiri dari 12 komponen yang harus dikembangkan, yaitu:
a. Perumusan filosofis, sasaran, misi
dan visi lembaga pendidikan yang kesemuannya
bersumber
dari analisis kebutuhan siswa dan analisis kebutuhan masyarakat.
b. Analisis kebutuhan masyarakat di
mana sekolah itu berada, kebutuhan siswa dan
urgensi dari
disiplin ilmu yang harus diberikan oleh sekolah. Sumber kurikulum
dapat dilihat
dari komponen pertama dan kedua ini. Komponen pertama berisi
pernyataan‐pernyataan yang bersifat umum dan
sangat ideal; sedangkan komponen
kedua sudah
mengarah kepad tujuan yang lebih khusus.
c. Merumuskan tujuan umum.
d. Merumuskan tujuan khusus kurikulum
yang didasarkan pada kebutuhan seperti
yang
tercantum dalam komponen pertama dan kedua.
e. Mengorganisasikan rancangan dan
mengimplementasikan kurikulum.
f. Menjabarkan kurikulum dalam
perumusan tujuan umum
g. Menjabarkan kurikulum dalam
perumusan tujuan khusus pembelajaran.
Setelah
tujuan pembelajaran dirumuskan, kegiatan selanjutnya adalah menetapkan
strategi
pembelajaran yang dimungkinkan dapat mencapai tujuan seperti yang terdapat
pada komponen
kedelapan. Selama itu pula dapat dilakukan studi awal tentang
kemungkinan
strategi atau teknik penilaian yang akan digunakan (komponen
kesembilan
A). Selanjutnya pengembangan kurikulum diteruskan pada komponen
kesepuluh),
yaitu mengimplementasikan strategi pembelajaran.
Setelah
strategi diimplementasikan, pengembangan kurikulum kembali kepada
komponen kesembilan
B untuk menyempurnakan alat atau teknik penilaian. Teknik
penilaian
seperti yang telah ditetapkan pada komponen kesembilan A bisa ditambah
7
atau direvisi
setelah mendapatkan masukan dari pelaksanaan atau implementasi
kurikulum.
Setelah
penetapan alat atau teknik penilaian, kegiatan selanjutnya adalah melakukan
evaluasi
terhadap pembelajaran (komponen kesebelas) dan evaluasi kurikulum
(komponen
kedua belas).
Menurut
Oliva, model yang dikembangkan ini dapat digunakan dalam beberapa
dimensi.
Dimensi pertama untuk penyempurnaan kurikulum sekolah dalam bidangbidang
khusus,
seperti penyempurnaan kurikulum bidang studi tertentu di sekolah baik
dalam tataran
perencanaan kurikulum maupun dalam proses pembelajarannya. Dimensi
kedua adalah
untuk membuat keputusan dalam merancang suatu program kurikulum.
Sedangkan
dimensi ketiga untuk mengembangkan program pembelajaran secara khusus.
4. Model
Beauchamp
Model ini
dinamakan sistem Beauchamp karena memang diciptakan dan
dikembangkan
oleh Beauchamp, seorang ahli kurikulum. Beauchamp mengemukakan
adanya lima
langkah dalam mengembangkan kurikulum.
a. Menetapkan wilayah atau arena
sistem Beauchamp yang akan melakukan
perubahan
suatu kurikulum. Wilayah itu bisa terjadi pada hanya satu sekolah, satu
kecamatan,
satu kabupaten, atau mungkin tingkat provinsi dan tingkat nasional.
b. Menetapkan orang‐orang yang akan terlibat dalam
proses pengembangan
kurikulum.
Beauchamp menyarankan untuk melibatkan seluas‐luasnya para tokoh
di
masyarakat. Orang‐orang yang
harus dilibatkan itu terdiri dari para ahli
kurikulum,
para ahli pendidikan termasuk di dalamnya para guru yang dianggap
berpengalaman,
para profesional lain dalam bidang pendidikan (seperti pustakawan,
laporan,
konsultan pendidikan dan lain sebagainya), dan para profesional dalam
bidang lain
serta para tokoh masyarakat (para politikus, industriawan, pengusaha
dan lain
sebagainya).
c. Menetapkan prosedur yang akan
ditempuh, yaitu dalam hal merumuskan tujuan
umum dan
tujuan khusus, memilih isi dan pengalaman belajar, serta menetapkan
evaluasi.
Keseluruhan prosedur itu selanjutnya dapat dibagi ke dalam lima langkah:
1) Membentuk tim pengembang kurikulum.
2) Melakukan penilaian terhadap kurikulum yang sedang
berjalan.
3) Melakukan studi atau penjajakan tentang penentuan
kurikulum baru.
4) Merumuskan kriteria dan alternatif pengembangan
kurikulum.
5) Menyusun dan menulis kurikulum yang dikehendaki.
d. Mengimplementasikan kurikulum.
Pada tahap ini perlu dipersiapkan secara matang
berbagai hal
yang dapat berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung
terhadap
efektifitas penggunaan kurikulum, seperti pemahaman guru tentang
kurikulum,
sarana atau fasilitas yang tersedia, manajemen sekolah dan lain
sebagainya.
e. Melaksanakan evaluasi kurikulum
yang menyangkut:
1) Evaluasi terhadap pelaksanaan kurikulum oleh uru‐guru di sekolah.
2) Evaluasi terhadap desain kurikulum.
3) Evaluasi terhadap keberhasilan anak didik.
4) Evaluasi terhadap sistem kurikulum.
5. Model
Wheeler
Menurut
Wheeler, pengembangan kurikulum merupakan suatu proses membentuk
lingkaran.
Proses pengembangan kurikulum terjadi secara terus‐menerus. Wheeler
8
berpendapat
bahwa proses pengembangan kurikulum terdiri dari lima tahap. Setiap
tahap
merupakan pekerjaan yang berlangsung secara sistematis (berurutan). Artinya,
kita tidak
mungkin dapat menyelesaikan tahap kedua manakala tahap pertama belum
terselesaikan.
Namun demikian, manakala setiap tahap sudah selesai dikerjakan, kita
akan kembali
kepada tahap pertama. Demikian proses pengembangan sebuah kurikulum
berlangsung
tanpa ujung. Bagaimana proses pengembangan kurikulum dan komponenkomponen
apa saja yang
ada dalam tahap pengembangan, dapat dilihat pada gambar
berikut ini.
Model
Pengembangan Kurikulum Wheeler
Wheeler
berpendapat bahwa pengembangan kurikulum terdiri atas lima tahap,
yakni:
a. Menentukan
tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum bisa merupakan tujuan
yang bersifat
normatif yang mengandung tujuan filosofis atau tujuan pembelajaran
umum yang
bersifat praktis. Sedangkan tujuan khusus adalah tujuan yang bersifat
spesifik dan
obyektif, yakni tujuan yang mudah diukur ketercapaiannya.
b. Menentukan
pengalaman belajar yang mungkin dapat dilakukan oleh siswa untuk
mencapai
tujuan yang dirumuskan dalam langkah pertama.
c. Menentukan
isi atau materi pembelajaran sesuai dengan pengalaman belajar.
d. Mengorganisasi
atau menyatukan pengalaman belajar dengan isi atau materi belajar.
e. Melakukan
evaluasi terhadap setiap tahap pengembangan dan pencapaian tujuan.
Dari langkah‐langkah pengembangan kurikulum
yang dikemukakan Wheeler,
tampak bahwa
pengembangan kurikulum membentuk sebuah siklus (lingkaran). Pada
hakikatnya,
setiap tahap pada siklus membentuk sebuah sistem yang terdiri dari
komponen‐komponen pengembangan yang saling
bergantung satu sama lainnya.
6. Model
Nicholls
Howard
Nicholls menjelaskan bahwa pendekatan pengembangan kurikulum terdiri
atas elemen‐elemen kurikulum yang membentuk
siklus.
Model
pengembangan kurikulum Nicholls menggunakan pendekatan siklus seperti
model
Wheeler. Model Nicholls digunakan apabila ingin menyusun kurikulum baru
yang diakibatkan
oleh terjadinya perubahan situasi.
Ada lima
langkah pengembangan kurikulum menurut Nicholls, yaitu:
a. Analisis
situasi
1. Tujuan
umum dan khusus
2. Menentukan
pengalaman
belajar
3. Menentukan
isi/materi
4.
Mengorganisasikan pengalaman
dan bahan belajar
5. Evaluasi
9
b. Menentukan
tujuan khusus
c. Menentukan
dan mengorganisasi isi pelajaran
d. Menentukan
dan mengorganisasi metode
e. Evaluasi
Setiap
langkah pengembangan kurikulum digambarkan oleh Nicholls seperti pada
gambar
berikut.
Model
Pengembangan Kurikulum Nicholls
7. Model
Dynamic Skilbeck
Skilbeck
menyebut model pengembangan kurikulum yang ia kembangkan dengan
model dynamic sebagai model
pengembangan kurikulum pada level sekolah (school
based
curriculum development).
Skilbeck
menjelaskan bahwa model ini disusun untuk setiap guru yang ingin
mengembangkan
kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan sekolah. Agar proses
pengembangan
kurikulum berjalan dengan baik, setiap pengembang termasuk guru
perlu
memahami lima elemen pokok yang dimulai dari menganalisis siuasi sampai
kepada
melakukan penilaian. Skilbeck menganjurkan agar model pengembangan
kurikulum
yang ia susun dapat dijadikan alternatif falam mengembangan kurikulum
tingkat
sekolah. Menurut Skilbeck, langkah‐langkah pengembangan kurikulum adalah
sebagai
berikut:
a.
Menganalisis situasi
b.
Memormulasikan tujuan
c. Menyusun
program
d.
Interpretasi dan implementasi
e. Monitoring, feedback, penilaian, dan rekonstruksi.
Apabila
disusun dalam sebuah gambar, model pengembangan kurikulum Skilbeck
dapat dilihat
pada gambar berikut ini.
Menentukan
tujuan khusus
Evaluasi
Menentukan
dan
mengorganisasi
metode
Menentukan
dan
mengorganisasikan
isi
pelajaran
10
Model
Pengembangan Kurikulum Skilbeck
Rangkuman
Model
pengembangan kurikulum adalah rancangan pengembangan kurikulum yang
dapat
dilaksanakan dan diterjemahkan ke dalam pembelajaran. Model pengembangan
berfungsi
mengintegrasikan seluruh aspek pengetahuan; menyederhanakan proses
pengembangan
kurikulum yang bersifat kompleks; sebagai pedomen melaksanakan
pembelajaran;
mempermudah komunikasi; dan sebagai petunjuk perencanaan untuk kegiatan
pengelolaan
kurikulum. Di samping itu, model pengembangan kurikulum dapat bermanfaat
menolong si
pengguna untuk mengerti dan memahami suatu proses secara mendasar dan
menyeluruh.
Dalam
pengembangan kurikulum, ada beberapa model yang dapat digunakan. Setiap
model
memiliki kekhasan tertentu baik dilihat dari keluasan pengembangan kurikulumnya
itu sendiri
maupun dilihat dari tahapan pengembangannya sesuai dengan pendekatannya.
Menurut
Sukmadinata (2001:161) sekurang‐kurangnya dikenal model pengembangan
kurikulum, seperti the administrative (line staff)
model, the grass
roots model, Bouchamp`s system,
the demonstration model, Taba`a inverted
model, Roger`s interpersonal relations model, the
systematic
action research model dan emerging
technical system. Sedangkan Sanjaya menguraikan
model
pengembangan
kurikulum berikut, yaitu: Model Tyler, Model Taba, Model Oliva, Model
Beauchamp,
Model Wheeler, Model Nicholls, dan Skilbeck
Daftar Pustaka
Nasution, S.
(2008), Asas‐Asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara.
Sanjaya,
Wina. (2009), Kurikulum
dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum
Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP), Jakarta: Kencana Prenada.
Sukmadinata,
Nana Syaodih. (2001), Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik, Bandung:
Rosdakarya.
Menganalisis
situasi
Memformulasikan
tujuan
Menyusun
program
Interpretasi
dan
implementasi
Monitoring,
feedback,
penilaian dan rekonstruksi
1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar