Pemakalah :
Riswanto
Syidqon Arif
M Muhklis
A. Pendahuluan
Pengembangan kurikulum adalah
seluruh proses pengembangan kurikulum atau
perbaikan dari
kurikulum yang sudah ada. Pengembangan kurikulum melibatkan
pengambilan/adopsi
tujuan nasional, arah dan sasaran dari pendidikan ke dalam suatu
rencana yang
menyatakan apa yang dimaksud dan apa yang dicapai di sekolah. Pada
dasarnya, hal
ini merupakan ‘suatu rangkaian tugas yang terrencana dan berurutan yang
dibutuhkan
untuk mengevaluasi, memperbaiki dan mengembangkan kurikulum dan yang pada
akhirnya
berhubungan dengan penyusunan rencana kegiatan belajar mengajar’.
Pengembangan
kurikulum mempunyai makna yang cukup luas. Menurut
Sukmadinata
(2001:I), pengembangan kurikulum bisa berarti penyusunan kurikulum
yang telah
ada (curriculum
construction), bisa juga
menyempurnakan kurikulum yang telah
ada (curriculum improvement). Selanjutnya, beliau juga
menjelaskan, pada satu sisi
pengembangan
kurikulum berarti menyusun seluruh perangkat kurikulum mulai dari
dasar‐dasar kurikulum, struktur dan
sebaran mata pelajaran, garis‐garis besar program
pengajaran,
sampai dengan pedoman‐pedoman
pelaksanaan (macro
curriculum).
Menurut Wina
Sanjaya, (2009), pengembangan kurikulum pada hakikatnya adalah
proses
penyusun rencana tetang isi dan bahan pelajaran yang harus dipelajari serta
bagaimana
cara mempelajarinya. Namun demikian, persoalan mengembangkan isi dan
bahan
pelajaran serta bagaimana cara belajar siswa bukanlah suatu proses sederhana,
sebab
menentukan isi atau muatan kurikulum harus berangkat dari visi, misi, serta
tujuan
yang ingin
dicapai, sedangkan menentukan tujuan erat kaitanya dengan persoalan sistem
nilai dan
kebutuhan masyarakat. Persoalan inilah yang kemudian membawa kita pada
persoalan
menentukan hal‐hal yang
mendasar dalam proses pengembangan kurikulum
yang kemudian
kita namakan asas‐asas atau
landasan pengembangan kurikulum.
Menurut Arif
Furchan (2005), pengembangan kurikulum adalah kegiatan
menghasilkan
kurikulum pada tingkat satuan pendidikan atau proses yang mengaitkan
satu komponen
dengan yang lainnya untuk menghasilkan kurikulum. Pengembangan
kurikulum
juga bisa diartikan sebagai kegiatan penyusunan, pelaksanaan, penilaian, dan
penyempurnaan
kurikulum.
Pengertian
pengembangan kurikulum yang terakhir ini senada dengan pendapat Zais
(1976) yang
mengartikan pengembangan kurikulum sebagai “….the processes of
constructing and implementing
curricula”. Pengembangan kurikulum sebagai
proses
perencanaan menetapkan berbagai
kebutuhan, mengadakan identifikasi tujuan‐tujuan
dan sasaran,
menyusun persiapan instruksional, memenuhi segala persyaratan
kebudayaan
sosial dan pribadi yang dilayani kurikulum.
Pengembangan
kurikulum tersebut mengandung makna bahwa:
1. Kurikulum
perlu dikembangkan dengan lebih menitikberatkan pada pencapaian
target
kompetensi dari pada penguasaan materi
2. Lebih
mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumberdaya pendidikan yang
tersedia.
3. Memberikan
kebebasan yang lebih luas kepada pelaksana pendidikan untuk
mengembangkan
program pendidikan sesuai dengan kebutuhan.
Berdasarkan
pengertian kurikulum tersebut di atas, dapat dipahami bahwa
pengembangan
kurikulum berarti suatu rangkaian kegiatan untuk membuat suatu
kurikulum,
melaksanakannya, menilai, dan menyempurnakan kurikulum.
2
B. Prinsip‐prinsip Pengembangan Kurikulum
Secara
gramatikal prinsip berarti asas, dasar, keyakinan, dan pendirian. Makna
gramatikal
ini mengandung pengertian bahwa prinsip menunjukkan pada suatu hal yang
sangat
penting, mendasar, harus diperhatikan, memiliki sifat mengatur dan mengarahkan,
serta sesuatu
yang biasanya selalu ada atau terjadi pada situasi dan kondisi yang serupa.
Dengan
demikian, prinsip memiliki suatu fungsi yang sangat penting dalam kaitannya
dengan
keberadaan sesuatu.
Kurikulum
diharapkan memberikan landasan, isi, dan menjadi pedoman bagi
pengembangan
kemampuan siswa secara optimal sesuai dengan tuntutan dan tantangan
perkembangan
masyarakat. Maka, dalam pengembangan kurikulum perlu pula
memperhatikan
beberapa prinsip agar proses pengembangan kurikulum membuahkan
kurikulum
yang optimal dan relevan dengan tuntutan masyarakat.
Ada beberapa
prinsip yang perlu diperhatikan tatkala mengembangkan kurikulum.
Prinsip‐prinsip pengembangan kurikulum
oleh Sukmadinata (2001: 150‐153)
dikelompokkan
menjadi dua, yaitu prinsip umum dan prinsip khusus. Prinsip umum
meliputi:
Pertama, prinsip relevansi yang memiliki
arti bahwa kompetensi yang diharapkan
dimiliki
mahasiswa relevan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat pengguna
lulusan. Jika
mahasiswa disiapkan mampu memenangi persaingan dalam tataran global,
seharusnya
isi kurikulumnya diorientasikan ke sana. Prinsip ini dapat berarti pula bahwa
antara
komponen‐komponen yang membentuk kurikulum
saling mengait dan terpadu.
Kedua, prinsip fleksibel yaitu kurikulum
hendaknya memiliki sifat lentur atau
fleksibel,
terutama yang berkaitan dengan implementasinya. Kurikulum dikembangkan
sesuai dengan
kebutuhan dan jati diri program studi‐program studi yang ada. Nana
Syaodih
Sukmadinata (2001) mengatakan bahwa kurikulum yang baik adalah kurikulum
yang berisi
hal‐hal yang solid, tetapi dalam
pelaksanaannya memungkinkan terjadinya
penyesuaian‐penyesuaian berdasarkan kondisi
daerah, waktu, maupun kemampuan dan
latar
belakang peserta didik.
Ketiga, prinsip kontinuitas yaitu
terjadinya proses pengembangan komponenkomponen
kurikulum
secara berkesinambungan. Hal ini perlu diperhatikan mengingat
kurikulum
berbasis kompetensi menuntut adanya ketuntasan dalam penguasaan suatu
kompetensi.
Oleh karena itu, jika pengembangan terhadap komponen‐komponen
kurikulum
dilakukan secara putus‐putus
dikhawatirkan makna ketuntasan kompetensi
akan susah
diperoleh.
Keempat, prinsip kepraktisan yang berarti
bahwa serangkaian kegiatan pengembangan
kurikulum
mudah diikuti dan dilaksanakan. Betapapun baiknya suatu desain kurikulum,
tetapi jika
tak bisa diikuti oleh semua pelaksana di lapangan maka kurikulum yang
bersangkutan
dapat dikatakan sia‐sia.
Idealisme dalam mengembangkan kurikulum
sangat
dibolehkan, tetapi juga harus praktis.
Kelima, prinsip efektivitas yaitu
kurikulum berbasis kompetensi harus mampu
menghasilkan
atau menyiapkan lulusan yang memenuhi harapan masyarakat
penggunanya.
Di sini, dimensi kepuasan pengguna lulusan program studi yang
diutamakan.
Di samping
itu, ada beberapa prinsip khusus yang tidak dapat diabaikan dalam
pengembangan
kurikulum, yaitu;
Pertama, prinsip yang berkaitan dengan
tujuan pendidikan. Artinya bahwa perumusan
komponen‐komponen kurikulum harus mengacu
kepada tujuan pendidikan baik tujuan
jangka
panjang, menengah, dan pendek. Tujuan pendidikan harus bersumber pada
3
ketentuan dan
kebijakan pemerintah, tuntutan masyarakat, pandanan para ahli
pendidikan,
hasil penelitian, maupun pengalaman negara‐negara lain.
Kedua, prinsip berkenaan dengan pemilihan
isi pendidikan. Memilih isi pendidikan
harus
mempertimbangkan penjabaran tujuan pendidikan kedalam berbagai kemampuan
hasil
belajar, isi bahan pelajaran yang meliputi pengetahuan, sikap, dan ketrampilan,
dan
unit‐unit kurikulum hars disusun secara
logis.
Ketiga, prinsip yang berkaitan dengan
pemilihan proses belajar mengajar. Proses
belajar
mengajar hendaknya memperhatikan metode yang sesuai dengan materi yang
diajarkan;
metode dan teknik pembelajaran yang dipilih harus sesuai dengan potensi
peserta
didik, memberikan urutan kegiatan yang bertingkat‐tingkat; dan mencakup tiga
ranah, yaitu
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Metode yang dipilih mendorong siswa
belajar
secara aktif, kreatif, dan menyenangkan
Keempat, prinsip yang berkenaan dengan
pemilihan media dan alat pembelajaran.
Media dan
alat yang dipilih hendaknya sesuain dengan karakter materi, metode, dan
kondisi
kelas. Media harus tersedia, jika tidak harus dicari penggantinya.
Kelima, prinsip yang berkenaan dengan
pemilihan kegiatan penilaian. Penilaian yang
dipilih
disesuaikan dengan kemampuan yang akan dicapai, usia siswa, dan tingkah laku
yang akan
diamati dan diukur.
Menurut Wina
Sanjaya (2009:39‐42) agar
kurikulum dapat berfungsi sebagai pedoman,
pengembangan
kurikulum harus mengacu pada prinsip‐prinsip berikut ini:
1. Prinsip
Relevansi
Kurikulum
merupakan rel‐nya
pendidikan unuk membawa siswa agar dapat
hidup sesuai
dengan nilai‐nilai yang
ada di masyarakat serta membekali siswa baik
dalam bidang
pengetahuan, sikap maupun ketrampilan sesuai dengan tuntutan dan
harapan
masyarakat. Oleh sebab itu, pengalaman‐pengalaman belajar yang disusun
dalam
kurikulum harus relevan dengan kebutuhan masyarakat. Inilah yang disebut
dengan
prinsip‐prinsip relevansi.
Ada dua macam
relevansi, yaitu relevansi internal dan relevansi eksternal.
Relevansi
internal adalah bahwa setiap kurikulum harus memiliki keserasian antara
komponen‐komponennya, yaitu keserasian
antara tujuan yang harus dicapai, isi,
materi atau
pengalaman belajar yang harus dimiliki siswa, strategi atau metode yang
digunakan
serta alat penilaian untuk melihat ketercapaian tujuan. Relevansi internal
ini
menunjukkan keutuhan suatu kurikulum.
Relevansi eksternal
berkaitan dengan keserasian antara tujuan, isi, dan proses
belajar siswa
yang tercakup dalam kurikulum dengan kebutuhan dan tuntutan
masyarakat.
Ada tiga macam relevansi eksternal dalam pengembangan kurikulum:
pertama,
relevan dengan lingkungan hidup peserta didik. Artinya, bahwa proses
pengembangan
dan penetapan isi siswa. Contohnya untuk siswa yang ada di
perkotaan
perlu diperkenalkan kehidupan di linkungan kota, seperti keraiman dan
ramburambu
lalu lintas; tata cara dan pelayanan jasa bank, kantor pos, dan lain
sebagainya.
Demikian juga untuk sekolah yang berada di daerah pantai, perlu
diperkenalkan
bagaimana kehidupan di pantai, seperti mengenai tambak, kehidupan
nelayan,
koperasi, pembibitan udang, dan lain sebagainya.
Kedua,
relevan dengan perkembangan zaman baik sekarang maupun dengan
yang akan
datang. Artinya, isi kurikulum harus sesuai dengan situasi dan kondisi
yang sedang
berkembang. Selain itu juga apa yang diajarkan kepada siswa harus
bermanfaat
untuk kehidupan siswa pada waktu yang akan datang. Misalkan untuk
kehidupan
yang akan datang, penggunaan komputer dan internet akan menjadi salah
4
satu
kebutuhan, maka dengan demikian bagaimana cara memanfaatkan komputer
dan bagaimana
cara mendapatkan informasi dari internet sudah harus diperkenalkan
kepada siswa.
Demikian juga dengan kemampuan berbahasa pada masa yang akan
datang ketika
pasar bebas seperti persetujuan APEC mulai berlaku, maka
masyarakatakan
dihadapkan kepada persaingan merebut pasar kerja dengan orangorang
asing. Oleh
karenanya keterampilan berbahasa asing sudah harus mulai
dipupuk sejak
sekarang.
Ketiga,
relevan dengan tuntutan dunia pekerjaan. Artinya, bahwa yang diajarkan
di sekolah
harus mampu memenuhi dunia kerja. Untuk sekolah kejuruan contohnya,
kalau dahulu
di Sekolah Kejuruan Ekonomi dilatih bagaimana agar siswa mampu
menggunakan
mesin tik sudah tidak banyak digunakan, akan tetapi yang lebih
banyak
digunakan kompter. Dengan demikian, keterampilan mengoperasikan
komputer
harus diajarkan. Demikian juga halnya dengan tuntutan dunia kerja
kepariwisataan,
perbankan, asuransi, perhotelan dan lain sebagainya, isi kurikulum
harus
menyesuaikan dengan tuntutan pekerjaan di setiap bidang.
Untuk
memenuhi prinsip relevansi ini, maka dalam proses pengembangannya
sebelum
ditentukan apa yang menjadi isi dan model kurikulum yang bagaimana yang
akan
digunakan, perlu dilakukan studi pendahuluan dengan menggunakan berbagai
metode dan
pendekatan seperti melakukan survei kebutuhan dan tuntutan
masyarakat;
atau melakukan studi tentang jenis‐jenis pekerjaan yang dibutuhkan oleh
setiap
lembaga atau instansi.
2. Prinsip
Fleksibilitas
Apa yang
diharapkan dalam kurikulum ideal kadang‐kadang tidak sesuai dengan
kondisi
kenyataan yang ada. Bisa saja ketidaksesuaian itu ditunjukkan oleh
kemampuan
guru yang kurang, latar belakang atau kemampuan dasar siswa yang
rendah, atau
mungkin sarana dan prasarana yang ada di sekolah tidak memadai.
Kurikulum
harus bersifat lentur atau fleksibel. Artinya, kurikulum itu harus bisa
dilaksanakan
sesuai dengan kondisi yang ada. Kurikulum yang kaku atau tidak
fleksibel
akan sulit diterapkan.
Prinsip
fleksibilitas memiliki dua sisi: pertama, fleksibel bagi guru, yang artinya
kurikulm
harus memberikan ruang gerak bagi guru untuk mengembangkan program
pengajarannya
sesuai dengan kondisi yang ada. Kedua, fleksibel bagi siswa, artinya
kurikulum
harus menyediakan berbagai kemungkinan program pilihan sesuai dengan
bakat dan
minat siswa.
3. Prinsip
Kontinuitas
Prinsip ini
mengandung pengertian bahwa perlu dijaga saling keterkaitan dan
kesinambungan
antara materi pelajaran pada berbagi jenjang dan jenis program
pendidikan.
Dalam penyusunan materi pelajaran perlu dijaga agar apa yang
diprlukan
untuk mempelajari suatu materi pelajaran pada jenjang yang lebuh tinggi
telah
diberikan dan dikuasai oleh siswa pada waktu mereka berda pada jenjang yang
sebelumnya.
Prinsip ini sangat penting bukan hanya untuk menjaga agar tidak terjadi
penulangan‐pengulagan materi yang
memungkinkan program pengajaran tidak
efektif dan
efisien, akan tetapi juga untuk keberhasilan siswa dalam menguasai materi
pelajaran
pada jenjang pendidikan tertentu.
Untuk menjaga
agar prinsip kontinuitas itu berjalan, maka perlu ada kerja sama
antara
pengembang kurikulum pada setiap jenjang pendidikan, misalkan para
pengembang
pendidikan pada jejang sekolah dasar, jenjang SLTP, jenjang SLTA, dan
bahkan dengan
para pengembang kurikulum di perguruan tinggi.
5
4. Efektivitas
Prinsip
efektivitas berkenaan dengan rencana dalam suatu kurikulum dapat
dilaksanakan
dan dapat dicapai dalam kegiatan belajar mengajar. Terdapat dua sisi
efektivitas
dalam suatu pengembangan kurikulum. Pertama, efektivitas berhubungan
dengan
kegiatan guru dalam melaksanakan tugas mengimplementasikan kurikulum
di dalam
kelas. Kedua, efektivitas kegiatan siswa dalam melaksanakan kegiatan
belajar.
Efektivitas kegiatan guru berhubungan dengan keberhasilan
mengimplementasikan
program sesuai dengan perencanaan yang telah disusun.
Sebagai
contoh, apabila guru menetapkan dalam suatu caturwulan atau satu semester
harus menyelesaiakan
12 program pembelajaran sesuai dengan pedoman kurikulum
ternyata
dalam jangka waktu tersebut hanya dapat menyelesaiakan 4 atau 5 program
saja, berarti
dapat dikatakan bahwa pelaksanaan program itu tidak efektif.
Efektivitas
kegiatan siswa berhubungan dengan sejauh mana siswa dapat
mencapai
tujuan yang telah ditentukan sesuai dengan jangka waktu tertentu. Sebagai
contoh
apabila ditetapkan dalam satu caturwulan siswa harus dapat mencapai
sejumlah
tujuan pembelajaran, ternyata hanya sebagian saja dicapai siswa, maka
dapat
dikatakan bahwa, proses pembelajaran sisa tidak efektif.
5. Efisiensi
Prinsip
efisiensi berhubungan dengan perbandingan antara tenaga, waktu, suara,
dan biaya
yang dikeluarkan dengan hasil yang diperoleh. Kurikulum dikatakan
memiliki tingkat
efisiensi yang tinggi apabila dengan sarana, biaya yang minimal dan
waktu yang
terbatas dapat memperoleh hasil yang maksimal. Betapa pun bagus dan
idealnya
suatu kurikulum manakala menuntut peralata, sarana dan prasarana yang
sangat khusus
serta mahal pula harganya, maka kurikulum itu tidak praktis dan sukar
untuk
dilaksanakan. Kurikulum harus dirancang untuk dapat digunakan dalam
segala
keterbatasan.
C. Landasan
Pengembangan Kurikulum
Landasan atau
fungsi asas dalam pengembangan kurikulum adalah seperti fondasi
sebuah
bangunan. Apa yang akan terjadi seandainya sebuah gedung yang menjulang
tinggi
berdiri diatas fondasi yang rapuh? Ya, tentu saja bangunan itu tidak akan tahan
lama. Oleh
sebab itu, sebelum sebuah gedung dibangun, terlebih dahulu disusun fondasi
yang kukuh.
Semakin kukuh fondasi sebuah gedung, maka akan semakin kukuh pula
gedung
tersebut.
Layaknya
membangun sebuah gedung, maka menyusun sebuah kurikulum juga
harus
didasarkan pada fondasi yang kuat. Kesalahan menentukan dan menyusun fondasi
kurikulum
berarti kesalahan dalam menentukan kebijakan dan implementasi pendidikan.
Apa yang akan
terjadi seandainya terdapat kekeliruan dalam menentukan kebijakan dan
mengimplementasikan
sistem pendidikan?
Ada tiga
landasan pengembangan kurikulum, yakni landasan filosofis, psikologis, dan
landasan
sosiologis‐teknologis. Ketiga landasan
tersebut diuraikan di bawah ini (Sanjaya,
2009:42).
1. Landasan
Filosofis dalam Pengembangan Kurikulum
Secara
harfiah filosofis (filsafat) berarti “cinta akan kebijakan” (love of wisdom)
(Sukmadinata,
2001:39). Filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu dati kata
‘’philos’’dan ‘sophia’’. Philos,
artinya cinta yang mendalam, dan sophia adalah kearifan
atau
kebijaksanaan. Dengan demikian, filsafat secara harfiah dapat diartiakan
sebagai
cinta yang
mendalam akan kearifan. Secara populer filsafat sering diartikan sebagai
6
pandangan hidup suatu masyarakat
atau pendirian hidup bagi individu. Henderson
dalam Sadulloh (2008:16)
mengemukakan ‘’popularly philosophy means one’s
general view of
life of men, of ideals, and of
values, in the sense everyone has a philosophy of life’’. Dengan
demikian,
maka jelas individu atau setiap kelompok masyarakat secara filosofis akan
memiliki
pandangan hidup yang mungkin berbeda sesuai dengan nilai‐nilai yang
dianggapnya
baik.
Filsafat
sebagai landasan pengembangan kurikulum menjawab pertanyaan‐peranyaan
pokok
seperti: hendak dibawa ke mana siswa yang dididik itu? Masyarakat yang
bagaimana
yang harus diciptakan melalui ikhtiar pendidikan? Apa hakikat pengetahuan
yang harus
dipelajari dan dikaji siswa? Norma‐norma atau sistem nilai yang bagaimana
yang harus
diwariskan kepada anak didik sebagai generasi penerus? Bagaimana
sebaiknya
proses pendidikan itu berlangsung?
Sebagai suatu
landasan fundamental, filsafat memegang peranan penting dalam
proses
pengembangan kurikulum. Ada empat fungsi filsafat (Sanjaya, 2009) dalam proses
pengembangan
kurikulum. Pertama, filsafat dapat menentukan arah dan tujuan
pendidikan.
Dengan filsafat sebagai pandangan hidup atau value system, maka dapat
ditentukan
mau dibawa ke mana siswa yang kita didik itu. Kedua, filsafat dapat
menentukan
isis atau materi pelajaran yang harus diberikan sesuai dengan tujuan yang
ingin
dicapai. Ketiga, filsafat dapat menentukan strategi atau cara pencapaian
tujuan.
Filsafat
sebagai sistem nilai dapat dijadikan pedoman dalam merancang kegiatan
pemblajaran.
Keempat, melalui filsafat dpat ditentukan bagaimana tolokmukur
keberhasilan
proses pendidikan.
a. Filsafat
dan pendidikan
Pendidikan
dapat diartikan sebagai proses pengembangan semua aspek
kepribadian
manusia, baik aspek pengetahuan, nilai dan sikap, maupun keterampilan.
Filsafat
sebagai sistem nilai (value system) harus menjadi dasar dalam menentukan
tujuan
pendidikan. Artinya, pandangan hidup atau sistem nilai yang dianggap baik
suatu
masyarakat akan tercemin dalam tujuan pendidikan yng harus dicapai. Manusia
macam apa
yang kita harapkan sebagai akhir proses pendidikan? Hendak dibawa
kemana anak
yang kita didik itu? Apa yang harus dikuasai oleh mereka? Pertanyaanpertanyaan
semacam itu
erat kaitannya dengan filsafat sebagai sistem nilai.
Kurikulum
pada hakikatnya berfungsi untuk mempersiapkan anggota masyarakat
yang dapat
mempertahankan, mengembangakan dan dapat hidup dalam sistem nilai
masyarakatnya
sendiri, oleh sebab itu dalam proses pengembangan kurikulum harus
mencerminkan
sistem nilai masyarakat.
Di indonesia,
sistem nilai yang berlaku adalah pancasila. Oleh sebab itu,
membentuk
manusia yang pancasialis merupakan tujuan dan arah dari segala ikhtiar
berbagai
level dan jenis pendidikan dan isi kurikulum yang disusun harus memuat
dan
mencerminkan nilai‐nilai
pancasila.
Nilai‐nilai atau norma yang diakui
sebagai pandangan hidup suatu bangsa, seperti
pancasila
bagi bangsa indonesia, bukan hanya harus menjiwai isi kurikulum yang
berlaku, akan
tetapi harus mewarnai filsafat dan tujuan lembaga sekolah serta
merembes ke
dalam praktik pendidikan oleh guru di dalam kelas. Dalam
melaksanakan
kegiatan serta pengambilan berbagai keputusan guru haruslah
mencerminkan
nilai‐nilai itu. Itulah sebabnya,
walaupun setiap guru dapat saja
memiliki
norma atau sistem nilai yang dianggapnya baik, akan tetapi nilai‐nilai itu
jangan sampai
bertentangan dengan norma‐norma masyarakat, yaitu pancasila.
7
b. Filsafat
sebagai Proses Berpikir
Filsafat
sering diartikan sebagai cara berpikir. Namun, apakah setiap berpikir
dapat
dikatakan berfilsafat? Tentu tidak. Berpikir filosofis adalah berpikir yang
memiliki ciri‐ciri tertentu. Sidi Gazalba
seperti dikutip Sanjaya (2009) mengemukakan
ciri‐ciri berpikir filosofis sebagai
berpikir yang radikal, sistematis, dan universal.
Berpikir yang
radikal (radical
thinking), yaitu
berpikir sampai ke akar‐akarnya,
sampai
pada
konsekuensi yang terakhir. Berpikir itu tidak setengah‐setengah, tidak berhenti
di jalan,
tetapi terus sampai keujungnya.
Berpikir
sistematis adalah berpikir logis yang bergerak selangkah demi selangkah
dengan penuh
kesadaran dengan urutan yang bertanggung jawab dan saling
berhubungan
yang teratur. Berpikir universal, artinya tidak berfikir secara khusus,
yang hanya
terbatas kepada bagian‐bagian
tertentu, melainkan mencakup
keseluruhan
secara sitematis dan logis sampai ke akar‐akarnya. Orang yang berfilsafat
adalah orang
yang berpikir secara mendalam tentang masalah secara menyeluruh
sebagai upaya
mencari dan menemukan kebenaran.
Ada lima
aliran utama dalam filsafat, yaitu perenialisme, idealisme, realisme,
pragmatisme,
dan eksistensialisme. Aliran tersebut mengkaji tentang cabang filsafat,
seperti
metafisika (hakikat dunia kenyataan), epistemologi (hakikat pengetahuan), dan
aksiologi
(nilai‐nilai). Setiap aliran memiliki
pandangan yang berbeda tentang cabangcabangfilsafat
itu
(Nasution, 2008:23‐27).
Aliran
perenialisme bertujuan mengembangkan kemampuan intelektual anak
melalui
pengetahuan yang ”abadi, universal, dan absolut” atau ”perenial”. Kurikulum
yang
diinginkan oleh aliran ini terdiri atas mata pelajaran yang terpisah sebagai
disipln ilmu
dengan menolak penggabungan seperti IPA dan IPS.
Aliran
idealisme memandang, bahwa kebenaran itu datangnya dari ‘’Yang Maha
Kuasa’’.
Manusia tidak dapat melihatnya secara lengkap apalagi menciptakanya. Apa
yang dilihat
manusia tentang kenyataan ada dalam cermin seperti aslinya; akan tetapi,
apakah
manakala tidak ada cermin muka kita juga ikut tidak ada? Tidak bukan? Muka
kita tetap
ada yang tidak ada hanya bayangnya saja. Inilah hakkat kebenaran dan
kenyataan
menurut aliran idealisme. Manusia hanya mampu menemukan kebenaran
yang
sebetulnya sudah ada. Kebenaran yang ditemukan itu hanya ebagian kecil saja.
Sebenarnya,
banyak kebenaran yang tidak mungkin manusia mampu menangkapnya.
Pandangan
aliran idelisme tentang hakikat kenyataan itu memiliki pengaruh
tentang
pengetahuan serta nilai‐nilai norma
serta terhadap aspek‐aspek lain.
Tentang
pengetahuan
misalnya, aliran idealisme menganggap bahwa pengetahuan itu
datangnya
dari kekuasaan yang maha tinggi seperti yang telah ditemukan oleh para
pemikir
terdaulu. Demikian juga tentang norma seluruhnya telah diatur oleh ‘’Yang
Maha’’ itu.
Manusia tidak perlu meragukan kebenarannya selain harus mematuhinya.
Aliran
realisme memandang, bahwa manusia pada dasarnya dapat menemukan
dan mengenal
realitas sebagai hukum‐hukum
universal, hanya saja dalam
menemukannya
itu dibatasi oleh kelambanan sesuai dengan kemampuannya. Oleh
karena
itulah, pengetahuan dapat diperoleh secara ilmiah melalui fakta dan kenyataan
yang dapat
diindra.dengan demikian, menurut aliran ini, sesuatu itu merupakan
kebenaran
manakala bisa dibuktikan melalui pengalaman, manakala tidak dapat
dibuktikan
bukanlah kebenaran. Mengenai norma atau nilai, menurut pandangan
realisme
disesuaikan dengan penemuan ilmiah. Norma dapat berubah sesuai dengan
kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
8
Berbeda
dengan ketiga aliran di atas, aliran pragmatisme berpendapat bahwa
kenyataan itu
pada hakikatnya berada pada hubungan sosial, antara manusia dengan
manusia
lainnya. Berkat hubungan sosial itu manusia dapat memperbaiki mutu
kehidupannya.
Pengetahuan diperolah dari pengamatan dan konteks sosial yang
berguna untuk
kehidupan masyarakat. Karena yang menjadi ukuran adalah
kehidupan
sosial, maka norma juga dapat berbeda menurut kebutuhan masyarakat.
Aliran
eksistensialis mengakui, bahwa sebagai individu setiap manusia memiliki
kelemahan‐kelemahan, namun demikian setiap
individu itu dapat memperbaiki
dirinya
sendiri sesuai dengan norma‐norma dan keyakinan yang ditentukannya
sendiri.
Setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih. Norma‐norma ditentukan
sendiri
sesuai dengan kebebasanya itu. Dengan demikian, setiap individu bisa
memiliki
norma yang berbeda.
2. Landasan
Psikologis dalam Pengembangan Kurikulum
Menurut
Sanjaya (2009) landasan psikologi yang sangat penting dalam
pengembangan
kurikulum adalah Psikologi Perkembangan dan Psikologi Belajar.
Psikologi
Perkembangan memandang anak didik memiliki keunikan dan perbedaanperbedaan
baik
perbedaan minat, bakat, maupun potensi yang dimilikinya sesuai dengan
tahapan
perkembangannya. Dengan alasan itulah, kurikulum harus memerhatikan
kondisi
psikologis perkembangan dan psikologis belajar anak. Pemahaman tentang anak
bagi seorang
pengembang kurikulum sangatlah penting. Kesalahan persepsi atau
kedangkalan
pemahaman tentang anak, dapat menyebabkan kesalahan arah dan
kesalahan
praktik pendidikan.
a. Psikologi Perkembangan Anak
Salah satu
hal yang perlu diketahui tentang anak, adalah masa‐masa
perkembangan
mereka. Pentingnya pemahaman tentang masa perkembangan ini
disebabkan
beberapa alasan. Pertama, setiap anak didik memiliki tahapan atau masa
perkembangan
tertentu. Pada setiap tahapan itu anak memiliki karakteristik dan
tugas‐tugas perkembangan tertentu.
Seandainya tugas‐tugas
perkembangan itu tidak
terpenuhi,
maka akan mengalami hambatan pada tahapan berikutnya. Kedua, anak
didik yang
sedang pada masa perkembangan merupakan periode yang sangat
menentukan
untuk keberhasilan dan kesuksesan hidup mereka. Pada masa itu anak
berada pada
periode perkembangan yang sangat cepat dalam berbagai aspek
perkembangan.
Ketiga, pemahaman akan perkembangan anak, akan memudahkan
dalam
melaksanakan tugas‐tugas
pendidikan, baik yang menyangkut proses
pemberian
bantuan memecahkan berbagai masalah yang dihadapi, maupun dalam
mengantisipasi
kejadian‐kejadian yang tidak diharapkan
(Sanjaya, 2009).
Teori
perkembangan siswa yang banyak digunakan adalah teori perkembangan
kognitif.
Menurut Piaget, kemampuan kognitif merupakan suatu yang fundamental
yang
mengarahkan dan membimbing perilaku anak. Ada dua konsep yang perlu
diketahui
untuk memahami teori perkembangan kognitif dari piaget, yaitu konsep
tentang
struktur fungsi merupakan mekanisme biologis bawaan yang sama untuk
setiap orang.
Tujuannya adalah untuk menyusun struktur kognitif internal. Melalui
fungsi akan
terjadi kecenderungan‐kecenderungan
biologis untuk mengorganisasi
pengetahuan
ke dalam struktur kognisi, dan untuk beradaptasi kepada berbagai
tantangan
yang datang dari luar (lingkungannya). Sedangkan, struktur merupakan
seperangkap
keterampilan, pola‐pola kegiatan
yang fleksibel yang digunakan untuk
memahami
lingkungan. Piaget berpendapat bahwa dalam memahami lingkungan itu
9
anak bersifat
aktif. Artinya, pengetahuan itu dibentuk dan diciptakan sendiri. Anak
tidak
menerima pengetahuan secara pasif dari lingkungannya.
Menurut Piaget
(Sanjaya, 2009:49‐54),
perkembangan intelektual (kognitif) setiap
individu
berlangsung dalam tahapan‐tahapan tertentu. Tahapan‐tahapan perkembangan
kognitif itu,
menurut Piaget terdiri dari 4 fase, yaitu:
1). Sensorimotor yang berkembang dari mulai usia lahir sampai
2 tahun;
Pada fase
sensorimotor kemampuan kognitif anak masih sangat terbatas. Piaget
mengistilahkannya
dengan kemampuan yang bersifat primitif, artinya masih
didasarkan
perilaku yang terbuka. Kemampuan kognitif atau intelegensi yang
dimiliki anak
pada masa ini merupakan intelegensi dasar yang amat berarti dan
menentukan
untuk perkembangan kognitif selanjutnya.
Intelegensi
sensorimotor juga dinamakan intelegensi praktis (practical intellegence).
Pada masa ini
anak hanya belajar bagaimana mengikuti dunia kebendaan secara
prakris dan
belajar bagaimana menimbulkan efek tertentu tanpa memahami apa yang
sedang ia
lakukan kecuali hanya mencari cara melakukan perbuatan itu.
Kemampuan
anak dalam berbahasa pada masa ini belum muncul interaksi dengan
lingkungan
dilakukan melalui gerakan‐gerakan,menyentuh, bergerak, dan
sebagainya.
Segala yang dilakukan anak dengan gerakan‐gerakan tubuhnya itu
merupakan
suatu eksperimen terhadap lingkungannya. Melalui proses interaksi
dengan
lingkungan, lambat laun anak akan belajar tentang bagaimana menguasai
lingkungannya
secara lebih baik.
Dalam proses
interaksi dengan lingkungan anak akan menghadapi tantangantantangan
untuk
mengambil atau menerima informasi‐informasi dari luar, kemudian
ia menyusun
informasi tersebut sehingga manakala ia akan berinteraksi lagi dengan
ligkungan, ia
dapat menggunakan informasi itu. Interaksi dengan lingkungan secara
terus‐mmenerus, pada akhirnya proses
interaksi dengan lingkungan itu akan menjadi
lebih baik
dan lebih bermakna. Dari proses interaksi itulah anak memperoleh
pengalaman
fisik dan pengalaman mental.
Piaget
meyakini, bahwa asal mula tumbuhnya struktur mental adalah aksi atau
tindakan.
Apabila seorang anak melihat, merasakan, atau menggerakkan sesuatu
benda, maka
ia akan memaksa otaknya untuk membangun program‐program mental
untuk
menguasai atau menanganinya. Menurut Piaget, semakin baik pengalamanpengalaman
anak, maka
akan semakin baik pula perkembangan intelektual anak
tersebut.
2). Praoperasional, mulai dari usia 2 sampai 7 tahun;
Pada fase ini
perkembangan kognitif anak ditandai dengan beberapa ciri. Pertama,
adanya akan
tetap eksisnya suatu benda. Pandangan terhadap benda sudah tidak
mengandalkan
indranya seperti pada masa sensorimotor. Walaupun suatu benda
sudah ia
tinggalkan atau sudah hilang dari pengelihatan dan pendengarannya, akan
tetapi anak
sadar kalau benda itu memang ada. Inilah yang diistilahkan dengan
kesadaran
akan object
permanence, hasil dari
munculnya kapasitas kognitif baru yang
disebut
dengan mental
representation (gambaran mental). Representasi mental adaah
sesuatu yang
mewakili atau menjadi simbol atau wujud sesuatu yanng lain.
Representasi
mental merupakan bagian yang penting dari kemampuan kognitif yang
10
memungkinkan
anak berpikir dan menyimpilkan eksistensi sebuah benda atau
kejadian tertentu,
walaupun semua itu berada di luar pandangannya.
Kedua, pada
fase ini kemampuan anak dalam berbahasa mulai berkembang. Melalui
pengalamannya
anak dapat mengenal dan memberikan objek dengan nama‐nama
sesuai dengan
gagasan yang telah dibentuknya dalam otak. Anak akan mampu
mengekspresikan
sesuatu dengan kalimat pendek namun efektif.
Ketiga, fase
praoperasional ini dinamakan juga fase intusi, di mana anak mulai
mengetahui
perbedaan antara objek‐objek sebagai
suatu bagian dari individu atau
kelasnya.
Misalkan perbedaan antara ‘’bapak’’ dengan orang lain, atau perbedaan
antara bentuk
tunggal dan bentuk jamak.
Keempat,
pandangan terhadap dunia, yang bersifat ‘’animistik’’, bahwa segala
sesuatu yang
bergerak di dunia ini adalah ‘’hidup’’ misalkan bulan bergerak,
menandakan
bahwa ia adalah hidup, demikian juga dengan matahari, gunung, laut,
daun‐daun yang ditiup angin, dan lain
sebagainya.mereka memandang bahwa
gerakan‐gerakan itu
disebabkan oleh adanya kekuatan yang menggerakkan semacam
raksasa atau
manusia yang hebat dan ‘’jagoan’’. Oleh karena itu, pada fase ini juga
bersifat ‘’articifialistic’’.
Kelima, pada
fase ini pengamatan dan pemahaman anak terhadap situasi lingkungan
yang
dipengaruhi sifatnya yang ‘’egocentrik’’. Pada fase ini anak akan beranggapan
bahwa cara
pandangan orang lain terhadap objek sama seperti dirinya. Ia tidak dapat
bekerjasama
secara efektif dalam kelompok‐kelompok .peraturan adalah
‘’peraturannya’’.
Orang lain tidak boleh keluar dari peraturan yang dibuatnya
sendiri.sifatnya
egosentris ini akan berkurang pada suatu saat ,yaitu apabila anak
telah banyak
terlibat dalam interaksi sosial dengan berbagai macam pendapat dari
individu‐individu yang lain.
3). Operasional konkret, berkembang dari 7 sampai 11 tahun;
dan
Pada masa ini
pikiran anak terbatas pada objek‐objek yang ia jumpai dari
pengalaman‐pengalaman langsung. Anak berpikir
tentang objek‐objek yang ia
temukan
secara langsung ,misalnya tentang beratnya, warnanya, dan strukturnya. Ia
juga berpikir
tentang aktivitas‐aktivitasyang
dapat ia lakukan dengan mengunakan
benda‐benda yang di temukannya itu.
Pada masa
ini, selain kemampuan‐kemampuan
yang telah dimiliki pada masa
sebelumnya,
akan memperoleh tambahan kemampuan yang di sebut dengan system of
operations (satuan langkah berpikir), yang
berguna untuk mengoordinasikan
pemikiran
suatu ide dalam peristiwa tertentu ke dalam sistem pemikirannya sendiri.
Menurut Piaget,
intelegensi bukan sifat yang biasanya digambarkan dengan skor IQ,
tetapi
tahapan langkah operasional tertentu yang mendasari semua pikiran dan
pengetahuan manusia ,disamping
merupakan proses pembentukan pemahaman.
Kemampuan kognitif yang dimiliki anak
pada fase ini meliputi conservation, addition
of
classes, dan multiplication
of classes. Conservation atau
pengekalan adalah kemampuan
anak dalam memahami dalam aspek‐aspek
kumulatif materi, seperti volume dan
jumlah. Anak yang mengenali sifat
kuantitatif sebuah benda akan tahu bahwa sifat
kuantitatif
sebuah benda tidak akan berubah secara sembarangan. Addition of classes
(penambahan golongan benda), yaitu
kemampuan anak dalam memahami cara
mengombinasikan
benda‐benda yang dianggap memiliki kelas
yang rendah dan
11
dihubungkan
dengan kelas yang lebih tinggi, misalkan kelompok ayam, itik, bebek
dihubungkan
dengan benda berkelas tinggi, yaitu unggas. Di samping itu,
kemampuan ini
juga meliputi kecakapan memilih‐milih benda‐benda dari
kelompok
tinggi menjadi
benda berkelas rendah, seperti ayam, itik, dan bebek adalah bagian
dari unggas.
Multifrication of classes (pelipatgandaan golongan benda), yakni kemampuan yang
melibatkan
pengetahuan mengenai cara mempertahankan dimensi‐dimensi benda
seperti warna
bunga dan jenis bunga untuk membentuk gabungan golongan benda,
seperti mawar
merah, mawar putih, dan sebagainya. Selain itu, kemampuan ini juga
meliputi
kemampuan memisahkan gabungan golongan benda menjadi dimensi yang
spesifik,
misalnya warna bunga mawar terdiri atas merah, putih dan kuning.
Dengan
munculnya kemampuan‐kemampuan di
atas, maka kemampuan operasi
kognitif
merupakan dasar bagi pengembangan ‘’akal pikiran’’. Contohnya
mengembangkan
keterampilan klasifikasi merupakan faktor penting untuk
menyusun dan
menempatkan informasi secara mudah di dalam otak anak.
Kemampuan
operasi kognitif meliputi kemampuan melakukan berbagai macam
operasional
secara matematika, seperti menambah, mengurangi, mengalikan, dan
membagi.
4). Operasional formal, yang dimulai dari 11 sampai dengan 14
tahun ke atas.
Piaget
menamakan fase ini sebagai fase ‘’formal operational’’, karena pada masa ini
pola bepikir
anak sudah sistematik dan meliputi proses‐proses yang kompleks, yang
tidak lagi
terbatas pada semata‐mata pada hal‐hal yang kongkret. Pada fase ini
aktivitas
proses berpikir mulai menyerupai cara berpikir orang dewasa, karena
kemampuannya
yang sudah berkembang pada hal‐hal yang bersifat abstrak, dengan
menggunakan
logika yang lebih tinggi tingkatannya, seperti misalnya berpikir
hipotesis‐deduktif, berpikir rasional,
berpikir proposional, mengevaluasi informasi,
dan lain
sebagainya.
b. Psikologi Belajar
Pengembangan
kurikulum tidak akan terlepas dari teori belajar karena pada
dasarnya
kurikulum disusun untuk membelajarkan siswa. Banyak teori yang
membahas
tentang belajar sebagai proses perubahan tingkah laku, seperti teori
hakekat
manusia dan pembelajaran, teori belajar behaviouristik, konstruktivistik, dan
humanistik.
Teori tentang
manusia dan pembelajaran seperti pandangan John Lock, bahwa
manusia
merupakan organisme yang pasif. Dengan teori tabularasa‐nya, Locke
menganggap
bahwa manusia itu seperti kertas putih, hendak ditulisi apa kertas itu
sangat
tergantung pada orang yang menulisnya. Dari pandangan yang mendasar
tentang
hakikat manusia itu, memunculkan aliran belajar behavioristik‐elementeristik
(Sanjaya,
2009)
Berbeda
dengan pandangan Locke, Leibnitz menganggap bahwa manusia adalah
organisme
yang aktif. Manusia merupakan sumber dari pada semua kegiatan. Pada
hakikatnya
manusia bebas untuk berbuat; manusia bebas untuk membuat suatu
pilihan dalam
setiap situasi. Titik pusat kebebasan ini adalah kesadarannya sendiri.
Menurut
aliran ini tingkah laku manusia hanyalah ekspresi yang dapat diamati
sebagai
akibat dari eksistensi internal yang pada hakikatnya bersifat pribadi.
12
Pandangan
hakikat manusia menurut pandangan Leibnitz ini kemudian melahirkan
aliran
belajar kognitif‐wholistik
(Sanjaya, 2009)
Teori belajar
behavioristik, memandang bahwa belajar pada hakikatnya adalah
pembentukan
asosiasi antara kesan yang ditangkap pancaindra dengan
kecenderungan
untuk bertindak atau berhubungan antara Stimulus dan Respons (SR).
Proses
belajar, menurut teori ini, tergantung pada adanya rangsangan atau
srmulus yang
muncul dari luar atau yang kita kenal dengan faktor lingkungan. Proses
belajar dapat
dipelajari dari kegiatan yang tampak yang dapat dilihat (Riyanto, 2009:
6).
Teori belajar
kognitif memandang bahwa belajar adalah kegiatan mental yang ada
dalam diri
setiap individu. Kegiatan mental itu memang tidak dapat dilihat secara
nyata, akan
tetapi menurut aliran ini, justru sesuatu yang ada dalam diri itulah yang
menggerakkan
seseorang mencapai perubahan tingkah laku. proses belajar yang
paling dasar
yaitu mengasimilasikan pengetahuan baru ke dalam skemata yang
tersusun
secara hierarkis. Struktur kognitif yang berada dalam ingatan siswa menjadi
faktor yang
sangat penting yang akan mempengaruhi kebermaknaan dari perolehan
pengetahuan
baru. Pengetahuan baru yang telah dimiliki siswa selanjutnya berfungsi
sebagai dasar
pengetahuan bagi masing‐masing siswa.
Semakin besar jumlah dasar
pengetahuan
yang dimiliki siswa, makin besar pula peluang yang dimiliki untuk
memilih.
Artinya semakin kuat dasar pengetahuan yang dimiliki siswa maka semakin
luas
wawasannya dalam mengkonstruksi pengetahuan di dalam dirinya (Asri, 2005:
45).
Menurut
Piaget, dalam Asri (2005: 45), skemata berfungsi untuk:
1). Mengintegrasikan unsur‐unsur pengetahuan yang terpisah‐pisah, atau sebagai
tempat untuk
mengaitkan pengetahuan baru. Skemata juga berfungsi
menggambarkan
atau merepresentasikan organisasi pengetahuan. Seseorang
yang ahli
dalam suatu bidang tertentu akan dapat digambarkan dalam skemata
yang
dimilikinya.
2). Sebagai kerangka atau tempat untuk mengaitkan atau
mencantolkan
pengetahuan
baru.
3). Skemata juga berfungsi untuk mengasilmilasikan
pengetahuan baru ke dalam
hierarki
pengetahuan, yang secara progresif lebih rinci dan spesifik dalam
struktrur
kognitif siswa.
3. Landasan
Sosiologis‐teknologis
dalam Pengembangan Kurikulum
Setiap
anggota masyarakat disiapkan untuk kehidupan di kemudian hari. Pernyataan
ini merupakan
analisis dasar fungsi pendidikan. Sistem sekolah merupakan usaha yang
disengaja
untuk mempertahankan pola normatif dan tindakan dari masyarakat. Ada
aturan antara
pola‐pola normatif dan perilaku yang
harus diikuti oleh semua anggota
masyarakat.
Sekolah telah dipercaya memainkan peran dalam mempertahankan normanorma
masyarakat.
Menurut Jeanne H. Ballantine (1983:6‐7), pendidikan memiliki fungsi
sebagai
tempat belajar budaya dan menjadi anggota masyarakat yang produktif. Siswa di
sekolah
belajar yang benar dan salah, nilai‐nilai, dan peran di masyarakat.
Ada
pertanyaan medasar yang mempertanyakan fungsi sekolah sebagai tempat belajar
budaya.
Kebudayaan apa yang harus dipelajari di sekolah? Apakah tujuan mengajarkan
kebudayaan
itu sebagai suatu kebenaran atau mengembangkan kemampuan dan inisiatif
untuk
menjajagi kebudayaan? Memahami kebudayaan sebagai kebenaran dimungkinkan
terjadi di
masyarakat yang berubah dengan lamban, dimana generasi yang masih hidup
dan yang
sudah meninggal memiliki pengalaman dasar yang sama dan penjelasan
13
kebudayaan
yang sama. Sedangkan bagi masyarakat yang mengalami perubahan cepat,
sekolah harus
mempersiapkan peserta didik untuk menghadapi keadaan budaya yang
tidak dapat
diramalkan dengan tepat. Oleh karena itu, sekolah harus menyiapkan murid
dengan
keterampilan untuk menghadapi keadaan yang sulit diprediksi.
Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagai hasil kemampuan berpikir
manusia telah
membawa umat manusia pada masa yang tidak pernah terbayangkan
sebelumnya.
Terciptanya produk‐produk
teknologi semacam teknologi transportasi,
misalnya
bukan menyebabkan manusia bisa menjelajahi ruang angkasa sebuah tempat
yang dahulu
dibayangkan sebagai tempat bersemayamnya para dewa.demikian juga
halnya dengan
ditemukan hasil teknologi informasi dan komunikasi, bukan hanya
manusia dapat
berhubungan secara langsung dengan orang yang tinggal di seberang
sana, akan
tetapi manusia dapat melihat berbagai peristiwa yang terjadi pada saat yang
sama di
seluruh belahan dunia.
Munculnya
permasalahanpermasalahan baru ini menyebabkan kompleksitas tugastugas
pendidikan
yang diemban oleh sekolah. Tugas sekolah menjadi semakin berat, dan
kadang‐kadang tidak mampu lagi
melaksanakan semua tuntutan masyarakat. Sesuai
dengan
perubahan zaman, tugas‐tugas yang
dahulu bukan menjadi tugas sekolah, kini di
serahkan
kepada sekolah. Sekolah bukan hanya bertugas menanamkan dan mewariskan
ilmu
pengetahuan, akan tetapi juga harus memberi keterampilan tertentu serta
menanamkan
budi pekerti dan nilai‐nilai.
Sesuai dengan
perbahan dan lompatan‐lompatan yang
sangat cepat itu, maka
kuriulum yang
berfungsi sebagai alat pendidikan, harus terus‐menerus diperbaharui
menyesuaikan
dengan perubahan yang terjadi baik isi maupun prosesnya. Para
pengembang
kurikulum tentunya termasuk guru harus memahami perubahan itu, agar isi
dan strategi
yang dikembangkan dalam kurikulum sebagai alat pendidikan tidak menjadi
usang.
Masyarakat
tidak bersifat statis. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi,
masyarakat selalu mengalami perubahan, bergerak menuju perkembangan
yang semakin
kompleks. Perubahan bukan hanya terjadi pada sistem nilai, akan tetapi
juga pada
pola kehidupan, struktur sosial, kebutuhan, dan tuntutan masyarakat. Dalam
kehidupan
sosial yang semakin kompleks tersebut, maka muncul pula berbagai kekuatan
kelompok yang
dapat memberikan tekanan terhadap penyelenggaraan dan praktik
pendidikan
termasuk di dalamnya tekanan‐tekanan dalam proses pengembangan isi
kurikulum
sebagai alat dan pedoman penyelenggaraan pendidikan. Kesulitan yang
dihadapi oleh
para pengembang kurikulum adalah manakala setiap kelompok sosial itu
memberikan
masukan dan tuntutan golongan agama, politik, militer, industri, dan lain
sebagainya.
Bukan hanya itu, pertentangan‐pertentangan pun seringa terjadi sehubungan
dengan cara
pandang yang berbeda tentang makna pendidikan setiap kelompok tersebut.
Misalkan,
cara pandang kelompok agamawan atau kelompok budayawan yang lebih
menekankan
pendidikan di sekolah sebagai wadah untuk membentuk generasi manusia
yang siap
pakai dengan sejumlah keterampilan teknis sesuai dengan tuntutan industri.
Cara pandang
yang berbeda semacam itu tentu saja memunculkan kriteria keberhasilan
yang berbeda
pula, yang pada gilirannya tolok ukur keberhasilan itu tidak pernah
memuaskan
semua golongan sosial.
D. Pendekatan
Pengembangan Kurikulum
Pendekatan
dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang seseorang terhadap
suatu proses
tertentu. Istilah pendekatan merujuk kepada pandangan tentang terjadinya
14
suatu proses
yang sifatnya masih sangat umum. Dengan demikian, pendekatan
pengembangan
kurikulum menunjuk pada titik tolak atau sudut pandang secara umum
tentang
proses pengembangan kurikulum.
Ada dua
pendekatan yang dapat diterapkan dalam pendekatan kurikulum. Pertama,
pendekatan top down atau pendekatan administratif,
yaitu pendekatan dengan sistem
komando dari
atas ke bawah; dan kedua adalah pendekatan grass roots atau
pengembangan
kurikulum yang diawali oleh inisiatif dari bawah lalu disebarluaskan
pada tingkat
atau skala yang lebih luas, dengan istilah singkat sering dinamakan
pengembangan
kurikulum dari bawah ke atas (Samjaya, 2009:77‐81)
1. Pendekatan Top Down
Pengembangan
kurikulum dengan pendekatan ini muncul atas inisiatif para
pejabat
pendidikan atau para administrator atau dari para pemegang kebijakan
(pejabat)
pendidikan, seperti dirjen atau para kepala Kantor Wilayah. Selanjutnya
dengan
menggunakan semacam garis komando, pengembangan kurikulum menetes
ke bawah.
Oleh karena dimulai dari atas itulah, pendekatan ini juga dinamakan line
staff model. Biasanya pendekatan ini banyak
dipakai di negara‐negara yang
memiliki
sistem
pendidikan sentralisasi.
Pendekatan top down bisa dilakukan baik untuk menyusun
kurikulum yang benarbenar
baru (curriculum construction) ataupun untuk penyempurnaan
kurikulum yang
ada (curriculum improvement). Prosedur kerja atau proses
pengembangan kurikulum
model ini
dilakukan kira‐kira sebagai
berikut:
Langkah
pertama, dimulai
dengan pembentukan tim pengarah oleh pejabat
pendidikan,
yang biasanya terdiri dari pejabat yang ada di bawahnya, seperti para
pengawas
pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu, dan bisa juga ditambah
dengan para
tokoh dari dunia kerja. Tugas tim pengarah ini adalah merumuskan
konsep dasar,
garis‐garis besar kebijakan, menyiapakan
rumusan falsafah dan tujuan
umum
pendidikan.
Langkah edua, adalah menyusun tim atau
kelompok kerja untuk menjabarkan
kebijakan
atau rumusan‐rumusan yang
telah disusun oleh tim pengarah. Anggota
kelompok
kerja ini adalah para ahli kurikulum, para ahli disiplin ilmu dari perguruan
tinggi,
ditambah dengan guru‐guru senior
yang dianggap sudah berpengalaman.
Tugas pokok
tim ini adalah merumuskan tujuan‐tujuan yang lebih operasional dari
tujuan‐tujuan umum, memilih dan menyusun sequence bahan pelajaran, memilih
strategi
pengajaran dan alat atau petunjuk evaluasi, serta menyusun pedomanpedoman
pelaksanaan
kurikulum bagi guru.
Langkah
ketiga, apabila
krikulum sudah selesai disusun oleh tim atau kelompok
kerja,
selanjutnya hasilnya diserahkan kepada tim perumus untuk dikaji dan diberi
catatan‐catatan atau dievaluasi. Kegiatan
selanjutnya bisa dalam bentuk uji coba dan
dievaluasi
kelayakannya, oleh suatu tim yang ditunjuk oleh para administrator. Hasil
uji coba itu
digunakan sebagai bahan penyempurnaan.
Langkah
keempat, para
administrator selanjutnya memerintahkan kepada setiap
sekolah untuk
mengimplementasikan kurikulum yang telah tersusun itu.
Dari langkah‐langkah pengembangan seperti yang
telah dikemukakan di atas,
maka tampak
jelas bahwa inisiatif penyempurnaan atau perubahan kurikulum
dimulai
pemegang kebijakan kurikulum, atau para pejabat yang berhubungan dengan
pendidikan;
sedangkan tugas guru hanya sebagai pelaksana kurikulum yang telah
ditentukan
oleh para pemegang kebijakan. Oleh karena itulah, proses pengembangan
15
kurikulum
dengan pendekatan top down dinamakan juga dengan pendekatan dengan
sistem
komando.
2. Pendekatan Grass
Roots
Dalam
pendekatan grass roots, yang juga disebut juga
pengembangan kurikulum
dari bawah ke
atas, inisiatif pengembangan kurikulum dimulai dari lapangan atau
dari guru‐guru sebagai implementer, kemudian
menyebar pada lingkungan yang
lebih luas
makanya pendekatan ini dinamakan. Oleh karena itu, pendekatan ini lebih
banyak
digunakan dalam penyempurnaan kurikulum (curriculum inprovement),
walaupun
dalam skala yang terbatas mungkin juga digunakan dalam pengembangan
kurikulum
baru (curriculum
construction).
Ada beberapa
syarat sebagai kondisi yang memungkinkan pendekatan grass roots
dapat
berlangsung. Pertama, manakala kurikulum itu benar‐benar bersifat lentur
sehingga
memberikan kesempatan kepada setiap guru secara lebih terbuka untuk
memperbarui
atau menyempurnakan kurikulum yang sedang diberlakukan.
Kurikulum
yang bersifat kaku, yang hanya mengandung petunjuk dan persyaratan
teknis sangat
sulit dilakuan pengembangannya dengan pendekatan ini.
Kedua,
pendekatan grass roots hanya mungkin terjadi jika guru
memiliki sikap
profesional yang tinggi disertai
kemampuan yang memadai. Sikap profesional itu biasanya
ditandai
dengan keinginan untuk mencoba dan mencoba sesuatu yang baru
dalam upaya
meningkatkan kinerjanya. Seorang profesional akan berusaha menambah
pengetahuan
dan wawasannya dengan menggali sumber‐sumber pengetahuan; ia
juga akan
selalu mencoba dan mencoba untuk mencapai kesempurnaan. Ia tidak akan
puas dengan
hasil yang minimal. Ia akan bisa tenang manakala hasil kinerjanya telah
sesuai dengan
target maksimalnya. Nah, dalam kondisi yang demikianlah grass roots
akan terjadi.
Kemudian bagaimana dengan kenyataan di Indonesia? Banyakkkah
guru‐guru yang memiliki kemauan dan
kemampuan semacam ini? Baiklah sekarang
jangan
terlalu hiraukan keadaan itu. Yang penting sekarang kita memahami
bagaimana
pendekatan grass roots ini dilaksanakan.
Ada beberapa
langkah penyempurnaan kurikulum yang dapat dilakukan
manakala
menggunakan pendekatan grass roots.
a. Menyadari
adanya masalah. misalnya, adanya ketidakcocokan penggunaan
strategi
pembelajaran atau kegiatan evaluasi seperti yang diharapkan, atau
masalah
kurangnya motivasi belajar siswa sehingga kita merasa terganggu, dan
lain
sebagainya
b. Mengadakan
refleksi, yaitu berusaha mencari penyebab munculnya masalah
tersebut.
Refleksi dilakukan dengan mengkaji literatur yang relevan misalnya
dengan
membaca buku, jurnal hasil penelitian yang relevan dengan masalah yang
kita hadapi
atau mengkaji sumber informasi lain misalnya melacak sumbersumber
dari
internet; atau melakukan diskusi dengan teman sejawat dan mengkaji
sumber dari
lapangan, misalnya melakukan wawancara dengan siswa, orang tua,
atau sumber
lain.
c. Mengajukan
hipotesis atau jawaban sementara. Berdasarkan hasil kajian refleksi,
selanjutnya
guru memetakan berbagai kemungkinan munculnya masalah dan cara
penanggulangannya.
d. Menentukan
hipotesis yang sangat mungkin dekat dan dapat dilakukan sesuai
dengan
situasi dan kondisi lapangan. Di samping itu, kita juga dapat
memperhitungkan
berbagai kemungkinan yang akan muncul, misalnya berbagai
16
hambatan yang
akan terjadi sehingga lebih dini kita akan dapat mengatasi
hambatan‐hambatan tersebut.
e.
Mengimplementasikan perencanaan dan mengevaluasinya secara terus‐menerus
hingga
terpecahkan masalah yang dihadapi. Dalam proses pelaksanaannya kita
dapat
berkolaborasi atau meminta pendapat teman sejawat.
f. Membuat
dan menyusun laporan hasil pelaksanaan pengembangan melalui grass
roots.
Pendekatan grass roots sangat mungkin terjadi di Negara‐negara yang telah
menerapkan
system desentralisasi sebab kebijakan pendidikan tidak lagi diatur oleh
pusat secara
sentralistik, akan tetapi penyelenggaraan pendidikan ditentukan oleh
daerah bahkan
oleh sekolah atau madrasah.
Rangkuman
Pengembangan
kurikulum bisa berarti penyusunan kurikulum yang telah ada (curriculum
construction), bisa juga menyempurnakan
kurikulum yang telah ada (curriculum improvement).
Namun, secara
luas pengembangan kurikulum berarti suatu rangkaian kegiatan untuk
membuat suatu
kurikulum, melaksanakannya, menilai, dan menyempurnakan kurikulum.
Prinsip
pengembangan kurikulum berarti asas, dasar, keyakinan, dan pendirian. Makna
gramatikal
ini mengandung pengertian bahwa prinsip menunjukkan pada suatu hal yang
sangat
penting, mendasar, harus diperhatikan, memiliki sifat mengatur dan mengarahkan,
serta sesuatu
yang biasanya selalu ada atau terjadi pada situasi dan kondisi yang serupa.
Prinsip
pengembangan kurikulum dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu prinsip khusus
dan prinsip
umum.
Landasan atau
fungsi asas dalam pengembangan kurikulum adalah seperti fondasi sebuah
bangunan. Apa
yang akan terjadi seandainya sebuah gedung yang menjulang tinggi berdiri
diatas
fondasi yang rapuh? Ya, tentu saja bangunan itu tidak akan tahan lama. Oleh sebab itu,
sebelum sebuah gedung dibangun,
terlebih dahulu disusun fondasi yang kukuh. Semakin
kukuh fondasi sebuah gedung, maka
akan semakin kukuh pula gedung tersebut. Landasan
pengembangan
kurikulum adalah landasan filosofis, psikologis, dan sosiologis‐teknologis.
Pendekatan
dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang seseorang terhadap
suatu proses
tertentu. Pendekatan dalam pengembangan kurikulum bisa berbentuk top down
dan grass root.
Daftar Pustaka
Asri
Budiningsi, C. 2005, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta.
Jeanne H. Ballantine. (1983), The Sociology of Education: A Systematic Analysis, New Jersey:
Princeton‐Hall, Inc.
Nasution, S.
(2008), Asas‐Asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara.
Riyanto,
Yatim (2009), Paradigma
Baru Pembelajaran: sebagai Referensi bagi Pendidik dalam
Implementasi
Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas, Jakarta: Kencana.
Sadulloh,
Uyoh. 2008, Pengantar
Filsafat Pendidikan, Bandung: Alfabeta.
Sanjaya,
Wina. (2009)., Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik
Pengembangan Kurikulum
Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP), Jakarta: Kencana Prenada.
Sukmadinata,
Nana Syaodih. (2001), Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik, Bandung:
Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar